PPC Iklan Blogger Indonesia
0 comments

Ikhlas

Sesungguhnya tujuan utama agama Islam adalah agar manusia beribadah kepada Allah Ta’ala dengan ikhlas. Allah Ta’ala berfirman: Dan mereka tidaklah diperintahkan kecuali agar beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya (terjemah: Al Bayyinah: 5). Ta’rif (definisi) ikhlas Ikhlas secara bahasa artinya memurnikan sesuatu dan membersihkannya dari campuran. Secara istilah, ada beberapa ta’rif, di antaranya adalah: - Ikhlas adalah pensucian niat dari seluruh noda dalam mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Noda di sini misalnya mencari perhatian makhluk dan pujian mereka. - Ikhlas adalah pengesaan Allah Ta’ala dalam niat dan ketaatan. - Ikhlas adalah melupakan perhatian makhluk dan selalui mencari llah Ta’ala. antaranya adalah: - ya dari campuran. perhatian al Khaliq. - Ikhlas adalah seorang berniat mendekatkan diri kepada Allah dalam ibadahnya. - Ikhlas adalah samanya perbuatan seorang hamba antara yang nampak dan yang tersembunyi. Singkatnya, ikhlas adalah seseorang beribadah dengan niat mendekatkan diri kepada Allah, mengharapkan pahala-Nya, takut terhadap siksa-Nya dan ingin mencari ridha-Nya. Dzun Nun Al Mishriy rahimahullah berkata: “Tiga tanda keikhlasan adalah: (1) Seimbangnya pujian dan celaan orang-orang terhadapnya, (2) Lupa melihat amal dalam beramal, (3) Dan mengharapkan pahala amalnya di akhirat.” Kedudukan Ikhlas Ikhlas adalah asas keberhasilan dan keberuntungan di dunia dan akhirat. Ikhlas bagi amal ibarat pondasi bagi sebuah bangunan dan ibarat ruh bagi sebuah jasad, di mana sebuah bangunan tidak akan dapat berdiri kokoh tanpa pondasi, demikian juga jasad tidak akan dapat hidup tanpa ruh. Oleh karena itu, amal shalih yang kosong dari keikhlasan akan menjadikannya mati, tidak bernilai serta tidak membuahkan apa-apa, atau dengan kata lain “wujuuduhaa ka’adamihaa” (Keberadaannya sama seperti ketidakadaannya). Ikhlas juga merupakan syarat diterimanya amal di samping sesuai dengan Sunnah. Allah Azza wa Jalla berfirman dalam hadits Qudsi: أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيهِ مَعِى غَيْرِى تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ “Aku sangat tidak butuh sekutu, siapa saja yang beramal menyekutukan sesuatu dengan-Ku, maka Aku akan meninggalkan dia dan syirknya.” (HR. Muslim) Tempat Ikhlas Ikhlas tempatnya di hati. Saat hati seseorang menjadi baik dengan ikhlas, maka anggota badan yang lain ikut menjadi baik. Sebaliknya, jika hatinya rusak, misalnya oleh riya’, sum’ah, hubbusy syuhrah (agar dikenal), mengharapkan dunia dalam amalnya, ‘ujub (bangga diri) dsb. maka akan rusaklah seluruh jasadnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ . “Apabila hati menjadi baik, maka akan baik pula seluruh jasadnya, dan apabila hati menjadi rusak, maka akan rusak seluruh jasadnya.” (HR. Bukhari-Muslim) Seseorang dituntut untuk berniat ikhlas dalam seluruh amal shalihnya, baik shalatnya, zakatnya, puasanya, jihadnya, amar ma’ruf dan nahi munkarnya, serta amal shalih lainnya, termasuk belajarnya. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Janganlah kalian belajar agama karena tiga hal; agar dapat mengalahkan orang-orang jahil, agar dapat mendebat para fuqaha’ dan agar perhatian orang-orang beralih kepada kalian. Niatkanlah dalam kata-kata dan perbuatan kalian untuk memperoleh apa yang ada di sisi Allah, karena hal itu akan kekal, adapun selainnya akan hilang.” Buah yang dihasilkan dari keikhlasan Buah yang dihasilkan dari keikhlasan sungguh banyak, seorang yang ikhlas dalam mengucapkan Laailaahaillallah, maka Allah akan mengharamkan neraka baginya. Seorang yang mengikuti ucapan muazin dengan ikhlas, maka Allah akan memasukkannya ke surga. Seorang yang menuntut ilmu agama dengan ikhlas, maka Allah akan memudahkan baginya jalan ke surga. Seorang yang ikhlas menjalankan puasa, maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Bahkan perbuatan mubah akan menjadi berpahala dengan keikhlasan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: إِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِيَ بِهَا وَجْهُ اللهِ إِلاَّ أُجِرْتَ عَلَيْهَا حََat yang ubah akan menjadi berpahala dengan keikhlasan. pun jika angتَّى مَا تَجْعَلُ فِي فِي امْرَأَتِكَ “Sesungguhnya kamu tidaklah menafkahkah satu nafkah pun karena mengharapkan keridhaan Allah, kecuali kamu akan diberikan pahala terhadapnya sampai dalam suapan yang kamu masukkan ke dalam mulut istrimu.” (HR. Bukhari-Muslim) Perhatikanlah kisah tiga orang yang bermalam di sebuah gua, lalu jatuh sebuah batu besar menutupi gua tersebut, sehingga mereka tidak bisa keluar. Masing-masing mereka berdoa kepada Allah dengan menyebutkan amal shalih yang mereka kerjakan dengan ikhlas, akhirnya Allah menyingkirkan batu tersebut dari gua, hingga mereka semua bisa keluar. Ini sebuah contoh buah dari keikhlasan. Akibat tidak ikhlas Sebaliknya, jika amal shalih dikerjakan atas dasar niat yang tidak ikhlas, bukan mendapatkan pahala, bahkan mendapatkan siksa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya orang yang pertama kali diadili pada hari kiamat adalah orang yang mati syahid. Ia pun dihadapkan, lalu Allah mengingatkan kepadanya nikmat-nikmatNya, ia pun mengingatnya, kemudian ditanya, “Kamu gunakan untuk apa nikmat itu?” Ia menjawab, “Aku (gunakan untuk) berperang di jalan-Mu hingga aku mati syahid”, Allah berfirman, “Kamu dusta, sebenarnya kamu berperang agar dikatakan sebagai pemberani dan sudah dikatakan demikian”, kemudian Allah memerintahkan orang itu agar dibawa, lalu ia diseret dalam keadaan telungkup kemudian dilempar ke neraka. (Kedua) seorang yang belajar agama, mengajarkannya dan membaca Al Qur’an, Ia pun dihadapkan, lalu Allah mengingatkan kepadanya nikmat-nikmat-Nya, ia pun mengingatnya, kemudian ditanya, “Kamu gunakan untuk apa nikmat itu?” Ia menjawab, “Aku (gunakan untuk) mempelajari agama, mengajarkannya dan membaca Al Qur’an karena Engkau”, Allah berfirman: “Kamu dusta, sebenarnya kamu belajar agama agar dikatakan orang alim, dan membaca Al Qur’an agar dikatakan qaari’, dan sudah dikatakan”, kemudian Allah memerintahkan orang itu agar dibawa, lalu ia diseret dalam keadaan telungkup kemudian dilempar ke neraka. (Ketiga) seseorang yang dilapangkan rezkinya dan diberikan kepadanya berbagai jenis harta, ia pun dihadapkan, lalu Allah mengingatkan kepadanya nikmat-nikmat-Nya, ia pun mengingatnya, kemudian ditanya, “Kamu gunakan untuk apa nikmat itu?” Ia menjawab, “Tidak ada satu pun jalan, di mana Engkau suka dikeluarkan infak di sana kecuali aku keluarkan karena Engkau”. Allah berfirman, “Kamu dusta, sebenarnya kamu lakukan hal itu agar dikatakan sebagai orang yang dermawan dan sudah dikatakan“, kemudian Allah memerintahkan orang itu agar dibawa, lalu ia diseret dalam keadaan telungkup kemudian dilempar ke neraka.” (HR. Muslim) Contoh Riya’ dan kurang ikhlas Berikut beberapa contoh riya’ dan amalan yang kurang ikhlas: - Seorang menambahkan lagi ketaatannya ketika dipuji, atau mengurangi bahkan meninggalkan ketaatan ketika dicela. - Seseorang beramal shalih dan berakhlak mulia agar dicintai orang-orang, diperlakukan secara baik dan mendapat tempat di hati mereka. Jika hal itu tidak tercapai, ia pun berat sekali melakukannya. - Seseorang bersedekah karena ingin dilihat orang, jika tidak ada yang melihatnya, ia tidak mau bersedekah. - Ibnu Rajab berkata, “Dan termasuk penyakit riya’ yang tersembunyi adalah bahwa seseorang terkadang merendahkan dirinya, di hadapan manusia, mengharap dengan itu agar manusia melihat bahwa dirinya adalah seorang tawadhu’, sehingga terangkat kedudukannya di sisi mereka dan mendapat pujian dari mereka..” - Seorang yang berjihad agar ia terbiasa perang. Keadaaan manusia dalam beramal shalih Orang-orang dalam beramal shalih beraneka ragam sbb: - Ada yang beramal shalih, niatnya murni riya’, seperti orang-orang munafik. Di mana, amal yang dilakukan tidak lain agar mendapatkan perhatian dari orang lain. Amalan ini sia-sia. - Seorang yang beramal shalih, niat asalnya karena Allah bercampur riya’ dari awal hingga akhirnya. Nas-nas yang shahih menunjukkan bahwa amalnya juga sia-sia. - Seorang yang beramal shalih, niat asalnya ikhlas lillah, namun kedatangan riya’ di tengah-tengahnya. maka dalam hal ini ada dua keadaan: Awal ibadah dan akhirnya terpisah, maka yang awalnya sah dan yang terakhirnya sia-sia. Contoh: Seseorang mempunyai 20.000,- yang ingin disedekahkannya, ia pun menyedekahkan 10.000, yang pertama ikhlas lillah, namun 10.000,- sisanya karena riya’. Maka yang pertama sah, sedangkan yang kedua sia-sia. Awal ibadah dengan akhirnya menyatu. Dalam hal ini ada dua keadaan juga: Riya’ yang datang tiba-tiba dilawannya, kemudian berhasil disingkirkan. Maka amal shalihnya tetap sah. Riya’ yang datang tiba-tiba dibiarkannya, akhirnya dirinya terbawa oleh riya’ tersebut. Maka dalam hal ini amalnya sia-sia. Obat Riya’ Di antara sebab timbulnya riya’ adalah karena lemahnya keimanan dan karena kebodohan. Oleh karena itu, ketika iman lemah, seseorang mudah berbuat maksiat, Rasulullah shallalllahu ‘alaihi wa sallam bersabda: لاَ يَزْنِى الزَّانِى حِينَ يَزْنِى وَهْوَ مُؤْمِنٌ ، وَلاَ يَشْرَبُ الْخَمْرَ حِينَ يَشْرَبُ وَهْوَ مُؤْمِنٌ ، “Tidaklah berzina seorang pezina ketika dia sedang berzina sedang dia seorang mukmin, dan tidaklah ia meminum khamr ketika dia sedang meminumnya sedang dia mukmin (HR. Bukhari) Demikian juga, seseorang tidaklah berbuat kemaksiatan kecuali karena ia jahil (bodoh), Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Segala maksiat itu bersumber pada kebodohan, dan seandainya manusia mengetahui ilmu yang bermanfaat niscaya ia tidak melakukan maksiat.” Selanjutnya beliau berkata ketika menafsirkan ayat: Sesungguhnya hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya hanyalah ulama (terj. Al Fathir: 28). “Setiap orang takut kepada Allah dan taat kepada-Nya serta tidak memaksiati-Nya maka dia adalah alim/berilmu.” Obat lemahnya iman dan kebodohan adalah dengan belajar dan beramal. Termasuk sebab timbulnya riya’ juga adalah karena menyukai pujian, takut celaan dan menyukai pemberian. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Tidak mungkin berkumpul bersama antara ikhlas dengan mencintai pujian, sanjungan serta tamak (rakus) terhadap harta manusia kecuali seperti berkumpulnya air dengan api, binatang dhab (mirip biawak namun kecil) dengan ikan besar (pemangsanya).” Cara agar kita tidak cinta terhadap pujian manusia adalah dengan mengetahui bahwa pujian seseorang tidaklah bermanfaat apa-apa, demikian juga celaannya tidaklah berbahaya, yang bermanfaat adalah pujian Allah Subhaanahu wa Ta’aala dan yang berbahaya adalah celaan-Nya. Sedangkan cara agar kita tidak tamak terhadap harta manusia adalah dengan mengetahui bahwa harta yang kita inginkan tersebut di Tangan Allah-lah perbendaharaan. Termasuk cara agar dapat menghindarkan diri dari riya’ adalah dengan menyembunyikan amal shalih, hal ini telah diisyaratkan oleh Rasulullah shallalllahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya tentang tujuh golongan yang akan mendapatkan naungan Allah pada hari yang tidak ada naungan selain naungan-Nya, di antaranya, “Seorang yang bersedekah lalu ia menyembunyikan sedekahnya sampai-sampai tangan kirinya tidak mengetahui apa yang dikeluarkan oleh tangan kanannya“ (Sebagaimana dalam hadits riwayat Bukhari-Muslim) Termasuk obat pernyakit riya’ adalah: - Seseorang mengetahui bahwa Allah Subhaanahu wa Ta’aala Maha Mendengar dan Melihat serta mengetahui apa saja yang kita sembunyikan dan kita tampakkan. - Meyakini bahwa pahala hanya milik Allah, selain-Nya tidak memiliki pahala. - Mengetahui bahwa dunia ini tidak ada apa-apanya dibanding akhirat. - Berdoa, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: اَلشِّرْكُ فِيْكُمْ أَخْفَى مِنْ دَبِيْبِ النَّمْلِ، وَسَأَدُلُّكَ عَلَى شَيْءٍ إِذَا فَعَلْتَهُ أُذْهِبَ عَنْكَ صِغَُارُ الشِّرْكِ وَكِبَارُهُ، تَقُوْلُ: اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لَا أَعْلَمُ Syirk yang menimpamu lebih halus daripada rayapan semut. Maukah kamu aku tunjukkan sesuatu yang jika kamu lakukan, niscaya akan dihilangkan darimu syirk yang besar maupun yang kecil. Yaitu kamu berkata: “Allahumma…dst (artinya: “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari menyekutukan-Mu sedangkan aku mengetahui, dan aku meminta ampun kepada-Mu terhadap hal yang tidak aku ketahui.” (Shahihul Jami’: 3625) Kesimpulannya, bahwa amalan yang didasari motivasi mencari pujian dan sanjungan manusia atau mengharapkan imbalan dari mereka merupakan amalan tercela meskipun zhahirnya kelihatan sebagai amal shalih. Namun demikian, tidaklah mengurangi keikhlasan jika ternyata ada orang lain yang memuji amalnya, asalkan niatnya tetap ikhlas lillah berdasarkan hadits riwayat Muslim bahwa Nabi shallalllahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang seseorang yang beramal karena cinta kepada Allah, lalu orang-orang memujinya, maka Beliau menjawab: تِلْكَ عَاجِلُ بُشْرَى الْمُؤْمِنِ “Itu adalah kabar gembira bagi seorang mukmin yang disegerakan.” Marwan bin Musa Maraaji’: Al Ikhlas (Syaikh Abdul Muhsin Al ’Abbad), Kitab Al Ikhlas (Husain Al ‘Awaaisyah), Nuurul Ikhlas (DR. Sa’id Al Qahthaani), Ikhlas versus Riya’ (Majalah As Sunnah Edisi 08/IV/1421-2000, tulisan M. Abu Hamdan) dll.