PPC Iklan Blogger Indonesia
0 comments

Syaikh Hasan Al-Banna

Ia dilahirkan di desa Mahmudiyah kawasan Buhairah, Mesir tahun 1906 M. Ayahnya, Syaikh Ahmad Al-Banna adalah seorang ulama fiqh dan hadits. Sejak masa kecilnya, Hasan Al-Banna sudah menunjukkan tanda-tanda kecemerlangan otaknya. Pada usia 12 tahun, atas anugerah Allah, Hasan kecil telah menghafal separuh isi Al-Qur'an.

Sang ayah terus menerus memotivasi Hasan agar melengkapi hafalannya. Semenjak itu Hasan kecil mendisiplinkan kegiatannya menjadi empat. Siang hari dipergunakannya untuk belajar di sekolah. Kemudian belajar membuat dan memperbaiki jam dengan orang tuanya hingga sore. Waktu sore hingga menjelang tidur digunakannya untuk mengulang pelajaran sekolah.

Sementara membaca dan mengulang-ulang hafalan Al-Qur'an ia lakukan selesai shalat Shubuh. Maka tak mengherankan apabila Hasan Al-Banna mencetak berbagai prestasi gemilang di kemudian hari. Pada usia 14 tahun Hasan al Banna telah menghafal seluruh Al-Quran. Hasan Al-Banna lulus dari sekolahnya dengan predikat terbaik di sekolahnya dan nomor lima terbaik di seluruh Mesir. Pada usia 16 tahun, ia telah menjadi mahasiswa di perguruan tinggi Darul Ulum. Demikianlah sederet prestasi Hasan kecil.
Selain prestasinya di bidang akademik, Ia juga memiliki bakat leadership yang cemerlang.

Semenjak masa mudanya Hasan Al-Banna selalu terpilih untuk menjadi ketua organisasi siswa di sekolahnya. Bahkan pada waktu masih berada di jenjang pendidikan i'dadiyah (semacam SMP), beliau telah mampu menyelesaikan masalah secara dewasa, kisahnya begini:
Suatu siang, usai belajar di sekolah, sejumlah besar siswa berjalan melewati mushalla kampung. Hasan berada di antara mereka. Tatkala mereka berada di samping mushalla, maka adzan pun berkumandang. Saat itu, murid-murid segera menyerbu kolam air tempat berwudhu. Namun tiba-tiba saja datang sang imam dan mengusir murid-murid madrasah yang dianggap masih kanak-kanak itu. Rupanya, ia khawatir kalau-kalau mereka menghabiskan jatah air wudhu. Sebagian besar murid-murid itu berlarian menyingkir karena bentakan sang imam, sementara sebagian kecil bertahan di tempatnya. Mengalami peristiwa tersebut, Al-Banna lalu mengambil secarik kertas dan menulis uraian kalimat yang ditutup dengan satu ayat Al Qur'an, "Dan janganlah kamu mengusir orang yang menyeru Tuhannya di pagi hari dan di petang hari, sedang mereka menghendaki keridhaan-Nya."(QS. Al-An'aam: 52).
Kertas itu dengan penuh hormat ia berikan kepada Syaikh Muhammad Sa'id, imam mushalla yang menghardik kawan-kawannya. Membaca surat Hasan Al-Banna hati sang imam tersentuh, hingga pada hari selanjutnya sikapnya berubah terhadap "rombongan anak-anak kecil" tersebut. Sementara para murid pun sepakat untuk mengisi kembali kolam tempat wudhu setiap mereka selesai shalat di mushalla. Bahkan para murid itu berinisiatif untuk mengumpulkan dana untuk membeli tikar mushalla!

Pada usia 21 tahun, beliau menamatkan studinya di Darul 'Ulum dan ditunjuk menjadi guru di Isma'iliyah. Hasan Al-Banna sangat prihatin dengan kelakuan Inggris yang memperbudak bangsanya. Masa itu adalah sebuah masa di mana umat Islam sedang mengalami kegoncangan hebat. Kekhalifahan Utsmaniyah (di Turki), sebagai pengayom umat Islam di seluruh dunia mengalami keruntuhan. Umat Islam mengalami kebingungan. Sementara kaum penjajah mempermainkan dunia Islam dengan seenaknya. Bahkan di Turki sendiri, Kemal Attaturk memberangus ajaran Islam di negaranya. Puluhan ulama Turki dijebloskan ke penjara. Demikianlah keadaan dunia Islam ketika Al-Banna berusia muda. Satu di antara penyebab kemunduran umat Islam adalah bahwa umat ini jahil (bodoh) terhadap ajaran Islam.

Maka mulailah Hasan Al-Banna dengan dakwahnya. Dakwah mengajak manusia kepada Allah, mengajak manusia untuk memberantas kejahiliyahan (kebodohan). Dakwah beliau dimulai dengan menggalang beberapa muridnya. Kemudian beliau berdakwah di kedai-kedai kopi. Hal ini beliau lakukan teratur dua minggu sekali. Beliau dengan perkumpulan yang didirikannya "Al-Ikhwanul Muslimun," bekerja keras siang malam menulis pidato, mengadakan pembinaan, memimpin rapat pertemuan, dll.

Dakwahnya mendapat sambutan luas di kalangan umat Islam Mesir. Tercatat kaum muslimin mulai dari golongan buruh/petani, usahawan, ilmuwan, ulama, dokter mendukung dakwah beliau.
Pada masa peperangan antara Arab dan Yahudi (sekitar tahun 45-an), beliau memobilisasi mujahid-mujahid binaannya. Dari seluruh Pasukan Gabungan Arab, hanya ada satu kelompok yang sangat ditakuti Yahudi, yaitu pasukan sukarela Ikhwan. Mujahidin sukarela itu terus merangsek maju, sampai akhirnya terjadilah aib besar yang mencoreng pemerintah Mesir. Amerika Serikat, sobat kental Yahudi mengancam akan mengebom Mesir jika tidak menarik mujahidin Ikhwanul Muslimin. Maka terjadilah sebuah tragedi yang membuktikan betapa pengecutnya manusia. Ribuan mujahid Mesir ditarik ke belakang, kemudian dilucuti. Oleh siapa? Oleh pasukan pemerintah Mesir! Bahkan tidak itu saja, para mujahidin yang ikhlas ini lalu dijebloskan ke penjara-penjara militer. Bahkan beberapa waktu setelah itu Hasan al Banna, selaku pimpinan Ikhwanul Muslimin menemui syahidnya dalam sebuah peristiwa yang dirancang oleh musuh-musuh Allah.

Dakwah beliau bersifat internasional. Bahkan segera setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, Hasan al Banna segera menyatakan dukungannya. Kontak dengan tokoh ulama Indonesia pun dijalin. Tercatat M. Natsir pernah berpidato didepan rapat Ikhwanul Muslimin. (catatan: M. Natsir di kemudian hari menjadi PM Indonesia ketika RIS berubah kembali menjadi negara kesatuan).

Syahidnya Hasan Al-Banna tidak berarti surutnya dakwah beliau. Sudah menjadi kehendak Allah, bahwa kapan pun dan di mana pun dakwah Islam tidak akan pernah berhenti, meskipun musuh-musuh Islam sekuat tenaga berusaha memadamkannya.
Mereka ingin memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir benci. (QS. Ash-Shaff: 8)

Masa-masa sepeninggal Hasan Al-Banna, adalah masa-masa penuh cobaan untuk umat Islam di Mesir. Banyak murid-murid beliau yang disiksa, dijebloskan ke penjara, bahkan dihukum mati, terutama ketika Mesir di perintah oleh Jamal Abdul Naseer, seorang diktator yang condong ke Sovyet. Banyak pula murid beliau yang terpaksa mengungsi ke luar negeri, bahkan ke Eropa. Pengungsian bagi mereka bukanlah suatu yang disesali. Bagi mereka di mana pun adalah bumi Allah, di mana pun adalah lahan dakwah. Para pengamat mensinyalir, dakwah Islam di Barat tidaklah terlepas dari jerih payah mereka. Demikianlah, siksaan, tekanan, pembunuhan tidak akan memadamkan cahaya Allah. Bahkan semuanya seakan-akan menjadi penyubur dakwah itu sendiri, sehingga dakwah Islam makin tersebar luas.

Di antara karya penerus perjuangan beliau yang terkenal adalah Fi Dzilaalil Qur'an (di bawah lindungan Al-Qur'an) karya Sayyid Quthb. Sebuah kitab tafsir Al-Qur'an yang sangat berbobot di jaman kontemporer ini. Ulama-ulama kita pun menjadikannya sebagai rujukan terjemahan Al-Qur'an dalam Bahasa Indonesia. Di antaranya adalah Al-Qu'an dan Terjemahannya keluaran Depag RI, kemudian Tafsir Al-Azhar karya seorang ulama Indonesia Buya Hamka.

Mengenal sosok beliau akanlah terasa komplit apabila kita mengetahui prinsip dan keyakinan beliau. Berikut ini adalah prinsip-prinsip yang senantiasa beliau pegang teguh dalam dakwahnya:

Saya meyakini: "Sesungguhnya segala urusan bagi Allah. Nabi Muhammad SAW junjungan kita, penutup para Rasul yang diutus untuk seluruh umat manusia. Sesungguhnya hari pembalasan itu haq (akan datang). Al-Qur'an itu Kitabullah. Islam itu perundang-undangan yang lengkap untuk mengatur kehidupan dunia akhirat."

Saya berjanji: "Akan mengarahkan diri saya sesuai dengan Al-Qur'an dan berpegang teguh dengan sunah suci. Saya akan mempelajari Sirah Nabi dan para sahabat yang mulia."

Saya meyakini: "Sesungguhnya istiqomah, kemuliaan dan ilmu bagian dari sendi Islam."

Saya berjanji: "Akan menjadi orang yang istiqomah yang menunaikan ibadah serta menjauhi segala kemunkaran. Menghiasi diri dengan akhlak-akhlak mulia dan meninggalkan akhlak-akhlak yang buruk. Memilih dan membiasakan diri dengan kebiasaan-kebiasaan islami semampu saya. Mengutamakan kekeluargaan dan kasih sayang dalam berhukum dan di pengadilan. Tidak akan pergi ke pengadilan kecuali jika terpaksa, akan selalu mengumandangkan syiar-syiar islam dan bahasanya. Berusaha menyebarkan ilmu pengetahuan yang bermanfaat untuk seluruh lapisan umat ini."

Saya meyakini: "Seorang muslim dituntut untuk bekerja dan mencari nafkah, di dalam hartanya yang diusahakan itu ada haq dan wajib dikeluarkan untuk orang yang membutuhkan dan orang yang tidak punya.

Saya berjanji: "Akan berusaha untuk penghidupan saya dan berhemat untuk masa depan saya. Akan menunaikan zakat harta dan menyisihkan sebagian dari usaha itu untuk kegiatan-kegiatan kebajikan. Akan menyokong semua proyek ekonomi yang islami, dan bermanfaat serta mengutamakan hasil-hasil produksi dalam negeri dan negara Islam lainnya. Tidak akan melakukan transaksi riba dalam semua urusan dan tidak melibatkan diri dalam kemewahan yang diatas kemampuan saya."

Saya meyakini: "Seorang muslim bertanggung jawab terhadap keluarganya, diantara kewajibannya menjaga kesehatan, aqidah dan akhlak mereka."

Saya berjanji: "Akan bekerja untuk itu dengan segala upaya. Akan menyiarkan ajaran-ajaran islam pada seluruh keluarga saya, dengan pelajaran-pelajaran islami. Tidak akan memasukkan anak-anak saya ke sekolah yang tidak dapat menjaga aqidah dan akhlak mereka. Akan menolak seluruh media massa, buletin-buletin dan buku-buku serta tidak berhubungan dengan perkumpulan-perkumpulan yang tidak berorientasi pada ajaran Islam."

Saya meyakini: "Di antara kewajiban seorang muslim menghidupkan kembali kejayaan Islam dengan membangkitkan bangsanya dan mengembalikan syariatnya, panji-panji islam harus menjadi panutan umat manusia. Tugas seorang muslim mendidik masyarakat dunia menurut prinsip-prinsip Islam."

Saya berjanji: "Akan bersungguh-sungguh dalam menjalankan risalah ini selama hidupku dan mengorbankan segala yang saya miliki demi terlaksananya misi (risalah) tersebut."

Saya meyakini: "Bahwa kaum muslim adalah umat yang satu, yang diikat dalam satu aqidah islam, bahwa islam yang memerintahkan pemelukya untuk berbuat baik (ihsan) kepada seluruh manusia."

Saya berjanji: "Akan mengerahkan segenap upaya untuk menguatkan ikatan persaudaraan antara kaum muslimin dan mengikis perpecahan dan sengketa di antara golongan-golongan mereka."

Saya meyakini: "Sesungguhnya rahasia kemunduran umat Islam, karena jauhnya mereka dari "dien" (agama) mereka, dan hal yang mendasar dari perbaikan itu adalah kembali kepada pengajaran Islam dan hukum-hukumnya, itu semua mungkin apabila setiap kaum muslimin bekerja untuk itu."

0 comments

HAMKA, Berprinsip Tapi Lembut

Inilah salah satu tokoh Indonesia yang langka. Kok langka? Pasalnya nih, tokoh yang satu ini cukup kompleks. Seandainya masih hidup, pasti diajak ngomong apa aja nyambung. Diajak ngomong masalah agama, okey! Karena HAMKA emang seorang ulama. Sastra? Oh...dia juga jagonya.

Bahkan masalah sosial budaya dan politik juga pernah digelutinya.
Tapi ada satu dari Buya HAMKA ini, yaitu keteguhannya memegang prinsip yang diyakini. Inilah yang bikin semua orang menyeganinya. Sikap independentnya itu sungguh bukan hal yang baru bagi HAMKA. Pada jamam pemerintah Soekarno, HAMKA berani mengeluarkan fatwa haram menikah lagi bagi Presiden Soekarno. Otomatis fatwa itu bikin sang Presiden berang.

Gak berhenti di situ, HAMKA juga terus-terusan mengkritik kedekatan pemerintah dengan PKI waktu itu. So, wajar aja kalau akhirnya dia dikirim ke penjara oleh Soekarno.

Bahkan majalah yang dibentuknya 'Panji Masyarat', pernah dibredel Soekarno karena menerbitkan tulisan Bung Hatta yang berjudul 'Demokrasi Kita' yang terkenal itu. Tulisan itu berisi kritikan tajam terhadap konsep Demokrasi Terpimpin yang dijalankan Bung Karno.

Namun dia tidak pernah menyimpan dendam pada Bung Karno. Buktinya, ketika Bung Karno wafat, HAMKA-lah yang menjadi imam saat sholat jenazahnya. Sikap yang berpedang pada prinsip dan hati ini tidak luput dari tempaan perjalanan hidupnya.

Simbol Legitimasi Umat
HAMKA dilahirkan di Maninjau, Sumatra Barat, 16 Februari 1908. Ayahnya bernama H.Abdul Karim Amrullah, seorang tokoh gerakan Islam kaum muda Minangkabau. Setelah menunaikan ibadah haji, gelar religius itu disimpan di depan nama aslinya. Jadilah ia bernama HAMKA (Haji Abdul Malik Karim Amrullah).

Sejak muda, HAMKA dikenal sebagai seorang pengelana. Bahkan ayahnya, memberi gelar Si Bujang Jauh. Pada usia 16 tahun ia merantau ke Jawa untuk menimba ilmu tentang gerakan Islam modern kepada HOS Tjokroaminoto, Ki Bagus Hadikusumo, RM Soerjopranoto, dan KH Fakhrudin. Saat itu, HAMKA mengikuti berbagai diskusi dan training pergerakan Islam di Abdi Dharmo Pakualaman, Yogyakarta.
Selain dikenal sebagai ulama kharismatik, Hamka juga dikenal sebagai pujangga termashur.

Sejak usia 17 tahun, ia sudah menulis roman berjudul Siti Rabiah. Aktivitas tulis menulis itu ditentang oleh keluarganya. Namun Hamka jalan terus untuk mencari jati dirinya dan berusaha keluar dari bayangan nama besar ayahnya.

Pada usia 30-an, ia tak langsung memilih menjadi ulama, meski ia sendiri termasuk muballig muda Muhammadiyah di kota Medan. Ia lebih suka bergelut di bidang jurnalistik. Bersama Abdullah Puar, pada tahun 1936 ia mendirikan majalah Pedoman Masyarakat di kota Medan. Di majalah inilah ia menulis tulisan bersambung yang di kemudian hari menjadi buku Tasawuf Modern yang terkenal itu. Meski tulisan itu syarat dengan nilai-nilai keislaman, ia tetap saja dikenal sebagai pujangga daripada ulama.

Pada 1950, ia mendapat kesempatan untuk melawat ke berbagai negara daratan Arab. Kesempatan ini dipergunakannya untuk bertemu dengan tokoh dan pengarang Mesir yang sudah lama dikenalnya. Sepulang dari lawatan itu, HAMKA menulis beberapa roman. Antara lain Mandi Cahaya di Tanah Suci, Di Lembah Sungai Nil, dan Di Tepi Sungai Dajlah. Sebelum menyelesaikan roman-roman di atas, ia telah membuat roman yang lainnya. Seperti Di Bawah Lindungan Ka'bah, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Merantau ke Deli, dan Di Dalam Lembah Kehidupan.

Sejak perjanjian Roem-Royen 1949, ia pindah ke Jakarta dan memulai kariernya sebagai pegawai di Departemen Agama pada masa KH Abdul Wahid Hasyim. Waktu itu HAMKA sering memberikan kuliah di berbagai perguruan tinggi Islam di Tanah Air.
Sebagai seorang intelektual yang hidup pada jaman itu, Hamka pada tahun 1955 terlibat dalam dunia politik. Ia masuk Konstituante melalui partai Masyumi. Namun, perjalanan politiknya bisa dikatakan berakhir ketika Konstituante dibubarkan melalui Dekrit Presiden Soekarno pada 1959. Setahun kemudian nasib serupa menimpa Masyumi, dibubarkan Soekarno.

Setelah itu Hamka kembali kepada dunianya, menulis. Kali ini ia hadir dengan majalah baru Panji Masyarakat yang sempat terkenal karena menerbitkan tulisan Bung Hatta berjudul Demokrasi Kita.
Pada periode ini, tulisan Hamka yang mendapat gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Al Azhar Mesir tahun 1958 ini sudah lebih banyak berupa kajian-kajian keIslaman yang mencakup seluruh bidang.
Setelah peristiwa 1965 dan berdirinya pemerintahan Orde Baru, Hamka secara total berperan sebagai ulama. Ia meninggalkan dunia politik dan sastra. Tulisan-tulisannya di Panji Masyarakat sudah merefleksikannya sebagai seorang ulama, dan ini bisa dibaca pada rubrik Dari Hati Ke Hati yang sangat bagus penuturannya. Keulamaan Hamka lebih menonjol lagi ketika dia menjadi ketua MUI pertama tahun 1975.

Hamka dikenal sebagai seorang moderat. Paling tidak bisa dilihat dari cara dia menyampaikan sesuatu yang selalu menempatkan hati dan pikiran dalam satu posisi yang sama berharganya. Tidak pernah dia mengeluarkan kata-kata keras, apalagi kasar dalam komunikasinya. Hal ini sudah ia tunjukkan dari sejak muda. Ia lebih suka memilih menulis roman atau cerpen dalam menyampaikan pesan-pesan moral Islam. Hamka yang bergelar Datuk In Domo ini mengakui bahwa memang dia menjadi lebih moderat ketika usianya bertambah.
"Ketika buku yang saya baca baru lima buah, saya cepat sekali menyimpulkan satu hal mengenai agama dan emosi, tapi ketika buku yang saya baca sudah lima puluh, saya menjadi lebih paham, dan tidak merasa perlu bersikap seperti itu," katanya suatu ketika.

Hamka meninggalkan karya tulis segudang, diantaranya, yang dibukukan tercatat lebih kurang 118 buah, belum termasuk karangan-karangan panjang dan pendek yang dimuat di berbagai media massa. Tulisan-tulisannya meliputi banyak bidang kajian: politik, sejarah, budaya, ahlak, dan ilmu-ilmu keislaman.

0 comments

Sayyid Quthb

Tidak lama setelah penembakan terhadap Hasan Al-Bana, terjadilah penangkapan besar-besaran terhadap anggota Ikhwanul Muslimin oleh rezim Nasser, yang beliau waktu itu menjawat tugas Perdana Menteri dan Ketua Dewan Revolusi Mesir. Anggota Ikhwanul Muslimin yang ditangkap ketika itu sebanyak 10.000 (sepuluh ribu) anggota dan seluruhnya dimasukkan ke dalam penjara, termasuk mereka yang berjasa dalam perang melawan Inggris di Suez.

Baru 20 hari sejak penangkapan besar-besaran itu, terdapat 1.000 orang tahanan anggota Ikhwanul Muslimin yang mati akibat siksaan dan penganiayaan. Dan 6 (enam) orang yang dijatuhi hukuman mati.

Di antara anggota-anggota Ikhwanul Muslimin yang ditahan dalam penjara itu adalah Hakim Dr. Abdul Qadir Audah, Muhammad Faraghali, dan Sayyid Quthub. Para tahanan itu tidak sedikit yang dijatuhi hukuman penjara antara 15 tahun sampai seumur hidup, dan juga hukuman mati, dan kerja paksa memotong dan memecah batu-batu di gunung-ganang. Mereka yang membangkang mogok tidak mau kerja paksa kemudian ditembak. Pernah kejadian yang mogok itu ditembak sekaligus 22 orang dalam penjara mereka. Kejadian itu pada tahun 1977.

Adapun Sayyid Quthub, beliau pernah dihibahkan oleh pihak lnggeris, barang siapa yang dapat menangkapnya akan mendapat hadiah 2000 Pound Sterling.

Sayyid Quthub ini lahir pada tahun 1903 di Musha, sebuah kota kecil di Asyut, Mesir. Beliau telah hafal Al-Quran 30 Juz sejak masih anak-anak, meraih gelaran sarjana dalam tahun 1933 dari Universitas Cairo, kemudian bekerja pada Kementerian Pendidikan. Kementerian Pendidikan kemudiannya mengirim beliau untuk belajar di Amerika Syarikat selama dua tahun.

Sepulang dari Amerika Syarikat beliau ke Inggris, Swiss, dan Itali. Sepulangnya dari luar negeri beliau kemudian menyatakan keyakinannya bahwa Mesir harus membebaskan diri dari kebudayaan asing yang negatif dan merusak kepribadian Islam serta ketimuran itu.

Beliau adalah seorang penyair dan sastrawan yang hasil karyanya diperhatikan orang. Pada tahun 1946 beliau menulis buku berjudul Adalatul Ijtimaiyah Fil Islam (Keadilan Sosial Di Dalam Islam). Buku ini amat popular dan cemerlang sehingga menjadikan beliau termasyhur. Apalagi setelah buku ini diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, beliau benar-benar seorang tokoh yang berwawasan. Terutama buku ini sebagai jawaban dari sikap Nasser yang mengumandangkan Sosialisme Arab itu.

Sebenarnya Sayyid Quthub ditahan jauh sebelum peristiwa Sandiwara Penentangan terhadap Nasser pada tanggal 26 Oktober 1954, yaitu dua hari setelah Ikhwanul Muslimin dilarang oleh Nasser. Adapun kesalahan beliau yang paling banyak ialah karena beliau mengarang dan menulis beberapa buku yang bersifat semangat Islam. Selain Keadilan Sosial Dalam Islam, juga buku Alimut Thar (Tonggak-tonggak Jalan) yang isinya menolak kebudayaan jahiliyah modern dalam segala bentuk dan praktiknya.

Kekejaman terhadap para tahanan dan terhadap beliau dari penguasa mesir tak terkira. Melebihi Nazi Jerman. Hal ini telah diungkapkan oleh para bekas tahanan yang kemudian selamat kembali kepada keluarga mereka. Mereka banyak berkisah tentang kekejaman penguasa zaman Raja Farouk maupun oleh Pemerintah Nasser. Ramai para bekas tahanan itu yang bercerita sambil bercucuran air mata bila teringat kawan-kawannya yang mati disiksa dan dibantai di hadapan mata kepala mereka sendiri. Hukuman cambuk, cucian otak dengan alat-alat elektronik sehingga para korban menjadi hilang akal, dan sebagainya. Bermacam-macam tuduhan yang dilontarkan. Tuduhan palsu, fitnah yang dibuat-buat, yang kesemuanya itu tidak ada kesempatan bagi para anggota Ikhwan untuk membela diri. Mereka tetap mengatakan Ikhwanul Muslimin salah, mengkhianati negara dan bangsa, dan sebagainya serta tuduhan-tuduhan yang tidak masuk akal.

Adik Sayyid Quthub yang bernama Muhammad Quthub meninggal dalam penjara. Dan Sayyid Quthub sendiri dibebaskan oleh penguasa pada tahun 1964 atas usaha Presiden lrak, Abdus Salam Arif (almarhum). Selepas dari tahanan ini keluarlah buku beliau berjudul Tonggak-Tonggak Islam, sehingga pada bulan Agustus 1965 beliau ditangkap dan ditahan lagi bersama 46.000 (empat puluh enam ribu) anggota Ikhwanul Muslimin.

Dalam pengadilan beliau berkata, "Aku tahu bahwa kali ini yang dikehendaki oleh pemerintah (Nasser) adalah kepalaku. Sama sekali aku tidak menyesali kematianku, sebaliknya aku berbahagia kerana mati demi cinta. Tinggal sejarah yang memutuskan, siapakah yang benar, Ikhwan ataukah regim ini."

Ketika beliau di mahkamah pada tahun 1954 juga berkata: "Apabila tuan-tuan menghendaki kepala saya, inilah aku dengan kepalaku di atas tapak tanganku sendiri"

Pada bulan Agustus 1966 Mahkamah Tentera menjatuhkan hukuman gantung kepada tokoh Ikhwanul Muslimin termasuk beliau. Dengan sebuah senyum pada hari Isnin, di waktu fajar menyingsing tanggal 29 Agustus 1966, beliau meninggal dunia di tiang gantung sebagai jalan untuk menemui Allah. Selama dalam masa penahanan, beliau menulis kitab tafsir Al-Qur'an yang sangat populer (Fi Zilalil Qur'an) yang saat ini banyak dijadikan kitab referensi dalam berbagai kajian Islam.

Demikianlah hukum yang terjadi di dunia ini, yang benar belum tentu menang dan yang salah belum tentu kalah. Namun pada umumnya yang berkuasa itulah yang dibenar-benarkan, karena pihak yang tidak mendapat kesempatan untuk berbicara karena bukan penguasa, walau tidak kuasa berkata bahwa dirinya benar. Dan Nasser merasa dirinya di pihak yang benar sehingga Ikhwanul Muslimin dianggap sebagai penghianat bangsa dan negara. Padahal setiap Mesir ditimpa bahaya, penguasa selalu minta tolong kepada para anggota Ikhwanul Muslimin untuk tampil ke depan membela tanah air, tetapi setelah keadaan aman, Ikhwanul Muslimin dijauhkan dari kebenaran, diketepikan, dianggap sebagai organisasi yang najis dan ekstrim.

Demikianlah nasib para pejuang dalam membela kebenaran, bahawa resiko yang dihadapinya tidak sedikit dan bahkan sering membawa korban, disiksa, dianiaya dan demikian itulah cara Allah untuk mengetahui keimanan dan ketakwaan seseorang. Dengan demikian, jelaslah bahwa siapa saja yang tidak mau berjuang untuk membela kebenaran adalah orang yang lemah mentalnya, dan akan mendapat siksa di akhirat nanti.

Wallahu 'Alam bishawab.

0 comments

Khalifah Umar Bin Abdul Aziz

Biodata Ringkas
Nama : Abu Jaafar Umar bin Abdul Aziz bin Marwan bin Hakam
Nama Ibu : Laila binti ‘Asim bin Umar bin Al-Khatab
Tahun Lahir : 61H
Umur : 39 tahun
Tarikh Masehi Dunia : 101H
Jawatan : Khalifah Ke 6 Bani Umaiyyah
Tarikh Lantikan : Safar 99H / 717M
Lama Berkhidmat : 2 tahun 5 bulan

Pendidikan
Beliau telah menghafaz al-Quran sejak masih kecil lagi. Merantau ke Madinah untuk menimba ilmu pengetahuan. Beliau telah berguru dengan beberapa tokoh terkemuka seperti Imam Malik bin Anas, Urwah bin Zubair, Abdullah bin Jaafar, Yusuf bin Abdullah dan sebagainya. Kemudian beliau melanjutkan pelajaran dengan beberapa tokoh terkenal di Mesir.

Beliau telah dipanggil balik ke Damsyik oleh Khalifah Abdul Malik bin Marwan apabila bapaknya meninggal dunia dan dinikahkan dengan puteri Khalifah, Fatimah binti Abdul Malik (sepupunya)

Sifat-Sifat Pribadi
Beliau mempunyai kepribadian yang tinggi, disukai orang yang diwarisi dari datuknya Saidina Umar bin Al-Khatab. Baginda amat berhati-hati dengan harta terutamanya yang melibatkan harta rakyat. Sesungguhnya kisah Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang menyediakan dua lilin di rumahnya, satu untuk kegunaan urusan negara dan satu lagi untuk kegunaan keluarga sendiri tentunya telah diketahui umum dan tidak perlu diulang-ulang.

Sebagai seorang yang zuhud, kehidupannya semasa menjadi Gubernur Madinah dan Khalifah adalah sama seperti kehidupannya semasa menjadi rakyat biasa. Harta yang ada termasuk barang perhiasan isterinya diserahkan kepada Baitulmal dan segala perbelanjaan negara berdasarkan konsep jimat-cermat dan berhati-hati atas alasan ini adalah harta rakyat. Ini terbukti apabila beliau dengan tegasnya menegur dan memecat pegawai yang boros dan segala bentuk jamuan negara tidak dibenarkan menggunakan harta kerajaan.

Pada suatu hari beliau berkhutbah yang isinya adalah seperti berikut ;
“Setiap orang yang musafir mesti memperlengkapi bekalannya. Siapkanlah taqwa dalam perjalanan kamu dari dunia menuju akhirat. Pastikan dirimu sama ada mendapat pahala atau siksa, senang atau susah.”
“Jangan biarkan masa berlalu sehingga hatimu menjadi keras dan musuh sempat mengoda. Sebaik-baiknya saudara menganggap bahawa hidup pada petang hari tidak akan sampai ke pagi hari dan hidup pada pagi hari tidak akan sampai ke petang hari. Memang tidak jarang terjadi kematian ditengah-tengahnya”
“Saudara-saudara dapat menyaksikan sendiri bahawa ramai orang yang tertipu dengan dunia, padahal orang yang layak bergembira tidak lain kecuali orang yang selamat daripada siksaan Allah SWT dan orang yang lepas dari tragedi hari qiamat.”
“Sementara orang yang tidak mahu mengubati yang sudah luka, kemudian datang lagi penyakit lain, bagaimana mungkin mahu bergembira ? Saya berlindung kepada Allah SWT daripada perbuatan yang tidak aku pegangi dan amalkan sendiri. Seandainya begitu, alangkah rugi dan tercelanya aku. Dan jelaslah tempatku nanti pada hari yang jelas kelihatan siapa yang kaya dan siapa yang miskin”.
“Di sana nanti akan diadakan timbangan amal serta manusia akan diserahi tanggungjawab yang berat. Seandainya tugas itu dipikul oleh binatang-binatang nescaya ia akan hancur, jika dipikul oleh gunung nescaya ia akan runtuh, kalau dipikul oleh bumi nescaya bumi akan retak. Saudara-saudara belum tahu bahawa tiada tempat di antara Syurga dan Neraka ? Kamu akan memasuki salah satu daripadanya.”
“Ada seorang lelaki yang mengirim surat kepada rekannya yang isinya : “Sesungguhnya dunia ini adalah tempat bermimpi dan akhirat barulah terjaga” Jarak pemisah antara keduanya adalah mati. Jadi, kita sekarang sedang bermimpi yang panjang”

Terdapat banyak riwayat dan athar para sahabat yang menceritakan tentang keluruhan budinya. Di antaranya ialah :

1) At-Tirmizi meriwayatkan bahawa Umar Al-Khatab telah berkata : “Dari anakku (zuriatku) akan lahir seorang lelaki yang menyerupainya dari segi keberaniannya dan akan memenuhkan dunia dengan keadilan”

2) Dari Zaid bin Aslam bahawa Anas bin Malik telah berkata : “Aku tidak pernah menjadi makmum di belakang imam selepas wafatnya Rasulullah SAW yang mana solat imam tersebut menyamai solat Rasulullah SAW melainkan daripada Umar bin Abdul Aziz dan beliau pada masa itu adalah Gubernur Madinah”

3) Al-Walid bin Muslim menceritakan bahawa seorang lelaki dari Khurasan telah berkata : “Aku telah beberapa kali mendengar suara datang dalam mimpiku yang berbunyi : “Jika seorang yang berani dari Bani Marwan dilantik menjadi Khalifah, maka berilah baiah kepadanya kerana dia adalah pemimpin yang adil”. ” Lalu aku menanti-nanti sehinggalah Umar bin Abdul Aziz menjadi Khalifah, akupun mendapatkannya dan memberi baiat kepadanya”.

4) Qais bin Jabir berkata : “Perbandingan Umar bin Abdul Aziz di sisi Bani Ummaiyyah seperti orang yang beriman di kalangan keluarga Firaun”

5) Hassan al-Qishab telah berkata :”Aku melihat serigala diternak bersama dengan sekumpulan kambing di zaman Khalifah Umar Ibnu Aziz”

6) Umar bin Asid telah berkata :”Demi Allah, Umar Ibnu Aziz tidak meninggal dunia sehingga datang seorang lelaki dengan harta yang bertimbun dan lelaki tersebut berkata kepada orang ramai :”Ambillah hartaku ini sebanyak mana yang kamu mahu”. Tetapi tiada yang mahu menerimanya (karena semua sudah kaya) dan sesungguhnya Umar telah menjadikan rakyatnya kaya-raya”

7) ‘Atha’ telah berkata : “Umar Abdul Aziz mengumpulkan para fuqaha’ setiap malam. Mereka saling ingat memperingati di antara satu sama lain tentang mati dan hari qiamat, kemudian mereka sama-sama menangis takut kepada azab Allah seolah-olah ada jenayah di antara mereka.”

Umar Ibnu Aziz Sebagai Khalifah
Beliau dilantik menjadi Khalifah setelah kematian sepupunya, Khalifah Sulaiman atas wasiat khalifah tersebut. Setelah mengambil alih tampuk pemerintahan, beliau telah mengubah beberapa perkara yang lebih mirip kepada sistem fuedal. Di antara perubahan awal yang dilakukannya ialah :

1) Menghapuskan cacian terhadap Saidina Ali bin Abu Thalib dan keluarganya yang disebut dalam khutbah-khutbah Jumat dan digantikan dengan beberapa potongan ayat suci al-Quran

2) Merampas kembali harta-harta yang disalah gunakan oleh keluarga Khalifah dan mengembalikannya ke Baitulmal

3) Memecat pegawai-pegawai yang tidak cakap, menyalahgunakan kuasa dan pegawai yang tidak layak yang dilantik atas pengaruh keluarga Khalifah

4) Menghapuskan pegawai pribadi bagi Khalifah sebagaimana yang diamalkan oleh Khalifah terdahulu. Ini membolehkan beliau bebas bergaul dengan rakyat jelata tanpa sekatan tidak seperti khalifah dahulu yang mempunyai pengawal pribadi dan askar-askar yang mengawal istana yang menyebabkan rakyat sukar berjumpa.

Selain daripada itu, beliau amat mengambil berat tentang kebajikan rakyat miskin di mana beliau juga telah menaikkan gaji buruh sehingga ada yang menyamai gaji pegawai kerajaan.

Beliau juga menitikberatkan penghayatan agama di kalangan rakyatnya yang telah lalai dengan kemewahan dunia. Khalifah umar telah memerintahkan umatnya mendirikan sholat secara berjammah dan masjid-masjid dijadikan tempat untuk mempelajari hukum Allah sebagaimana yang berlaku di zaman Rasulullah SAW dan para Khulafa’ Ar-Rasyidin. Baginda turut mengarahkan Muhammad bin Abu Bakar Al-Hazni di Mekah agar mengumpul dan menyusun hadits-hadits Rasulullah SAW.

Dalam bidang ilmu pula, beliau telah mengarahkan cendikawan Islam supaya menterjemahkan buku-buku kedoktoran dan berbagai bidang ilmu dari bahasa Greek, Latin dan Siryani ke dalam bahasa Arab supaya senang dipelajari oleh umat Islam.

Dalam mengukuhkan lagi dakwah Islamiyah, beliau telah menghantar 10 orang pakar hukum Islam ke Afrika Utara serta menghantar beberapa orang pendakwah kepada raja-raja India, Turki dan Barbar di Afrika Utara untuk mengajak mereka kepada Islam. Di samping itu juga beliau telah menghapuskan bayaran Jizyah yang dikenakan ke atas orang yang bukan Islam dengan harapan ramai yang akan memeluk Islam.

Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang terkenal dengan keadilannya telah menjadikan keadilan sebagai keutamaan pemerintahannya. Beliau mau semua rakyat dilayani sama adil tidak mengira keturunan dan pangkat supaya keadilan dapat berjalan dengan sempurna. Keadilan yang beliau perjuangan adalah menyamai keadilan di zaman datuknya, Khalifah Umar Al-Khatab yang sememangnya dinanti-nantikan oleh rakyat yang selalu ditindas oleh pembesar yang angkuh dan zalim sebelumnya.

Beliau akhirnya menghembuskan nafasnya yang terakhir setelah memerintah selama 2 tahun 5 bulan, satu tempoh yang terlalu pendek bagi sebuah pemerintahan.

Tetapi Khalifah Umar bin Abdul Aziz telah membuktikan sebaliknya. Dalam tempo tersebut, kerajaan Umaiyyah semakin kuat tiada pemberontakan dalaman, kurang berlaku penyelewengan, rakyat mendapat layanan yang sewajarnya dan menjadi kaya-raya hinggakan Baitulmal penuh dengan harta zakat karena tiada lagi orang yang mau menerima zakat. Kebanyakannya sudah kaya ataupun sekurang-kurangnya boleh berdikari sendiri.

Semua ini adalah jasa Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang sangat masyhur, adil yang wajar menjadi contoh kepada pemerintahan zaman modern ini. Hanya 852 hari dapat mengubah sistem pemerintahan ke arah pemerintahan yang diridhai Allah dan menjadi contoh sepanjang zaman. Satu rekor yang sukar diikuti oleh orang lain melainkan orang yang benar - benar ikhlas.

0 comments

Hasan Al-Bashri (30 - 110 H)

Suatu hari ummahatul mu’minin, Ummu Salamah, menerima khabar bahwa mantan "maula" (pembantu wanita)-nya telah melahirkan seo¬rang putera mungil yang sehat. Bukan main gembiranya hati Ummu Salamah mendengar berita tersebut. Diutusnya seseorang untuk mengundang bekas pembantunya itu untuk menghabiskan masa nifas di
rumahnya.

Ibu muda yang baru melahirkan tersebut bernama Khairoh, orang yang amat disayangi oleh Ummu Salamah. Rasa cinta ummahatul mu’minin kepada bekas maulanya itu, membuat ia begitu rindu untuk segera melihat puteranya. Ketika Khairoh dan puteranya tiba, Ummu Salamah memandang bayi yang masih merah itu dengan penuh sukacita dan cinta. Sungguh bayi mungil itu sangat menawan. "Sudahkah kau beri nama bayi ini, ya Khairoh?" tanya Ummu Salamah. "Belum ya ibunda. Kami serahkan kepada ibunda untuk menamainya" jawab Khai¬roh. Mendengar jawaban ini, ummahatul mu’minin berseri-seri, seraya berujar "Dengan berkah Allah, kita beri nama Al-Hasan." Maka do’apun mengalir pada si kecil, begitu selesai acara pembe¬rian nama.

Al-Hasan bin Yasar - atau yang kelak lebih dikenal sebagai Hasan Al-Basri, ulama generasi salaf terkemuka - hidup di bawah asuhan dan didikan salah seorang isteri Rasulullah SAW: Hind binti Suhail yang lebih terkenal sebagai Ummu Salamah. Beliau
adalah seorang puteri Arab yang paling sempurna akhlaqnya dan paling kuat pendiriannya, ia juga dikenal - sebelum Islam - sebagai penulis yang produktif. Para ahli sejarah mencatat beliau sebagai yang paling luas ilmunya di antara para isteri Rasulullah
SAW.

Waktu terus berjalan. Seiring dengan semakin akrabnya hubun¬gan antara Al-Hasan dengan keluarga Nabi SAW, semakin terbentang luas kesempatan baginya untuk ber"uswah" (berteladan) pada ke¬luarga Rasulullah SAW. Pemuda cilik ini mereguk ilmu dari rumah-rumah ummahatul mu’minin serta mendapat kesempatan menimba ilmu bersama sahabat yang berada di masjid Nabawiy.

Ditempa oleh orang-orang sholeh, dalam waktu singkat Al-Hasan mampu meriwayatkan hadist dari Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abu Musa Al-Asy’ari, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Anas bin Malik dan sahabat-sahabat RasuluLlah lainnya.
Al-Hasan sangat mengagumi Ali bin Abi Thalib, karena keluasan ilmunya serta kezuhudannya. Penguasan ilmu sastra Ali bin Abi Thalib yang demikian tinggi, kata-katanya yang penuh nasihat dan hikmah, membuat Al-Hasan begitu terpesona.

Pada usia 14 tahun, Al-Hasan pindah bersama orang tuanya ke kota Basrah, Iraq, dan menetap di sana. Dari sinilah Al-Hasan mulai dikenal dengan sebutan Hasan Al-Basri. Basrah kala itu terkenal sebagai kota ilmu dalam Daulah Islamiyyah. Masjid-masjid
yang luas dan cantik dipenuhi halaqah-halaqah ilmu. Para sahabat dan tabi’in banyak yang sering singgah ke kota ini.
Di Basrah, Hasan Al-Basri lebih banyak tinggal di masjid, mengikuti halaqah-nya Ibnu Abbas. Dari beliau, Hasan Al-Basri banyak belajar ilmu tafsir, hadist dan qiro’at. Sedangkan ilmu fiqih, bahasa dan sastra dipelajarinya dari sahabat-sahabat yang
lain. Ketekunannya mengejar dan menggali ilmu menjadikan Hasan Al-Basri sangat ‘alim dalam berbagai ilmu. Ia terkenal sebagai seorang faqih yang terpercaya.

Keluasan dan kedalaman ilmunya membuat Hasan Al-Basri banyak didatangi orang yang ingin belajar langsung kepadanya. Nasihat Hasan Al-Basri mampu menggugah hati seseorang, bahkan membuat para pendengarnya mencucurkan air mata. Nama Hasan Al-Basri makin harum dan terkenal, menyebar ke seluruh negeri dan sampai pula ke telinga penguasa.

Ketika Al-Hajaj ats-Tsaqofi memegang kekuasan gubernur Iraq, ia terkenal akan kediktatorannya. Perlakuannya terhadap rakyat¬ terkadang sangat melampaui batas. Nyaris tak ada seorang pun penduduk Basrah yang berani mengajukan kritik atasnya atau menen¬tangnya. Hasan Al-Basri adalah salah satu di antara sedikit penduduk Basrah yang berani mengutarakan kritik pada Al-Hajaj. Bahkan di depan Al-Hajaj sendiri, Hasan Al-Basri pernah menguta¬rakan kritiknya yang amat pedas.

Saat itu tengah diadakan peresmian istana Al-Hajaj di tepian kota Basrah. Istana itu dibangun dari hasil keringat rakyat, dan kini rakyat diundang untuk menyaksikan peresmiannya. Saat itu tampillah Hasan Al-Basri menyuarakan kritiknya terhadap Al-Hajaj:
"Kita telah melihat apa-apa yang telah dibangun oleh Al-Hajaj. Kita juga telah mengetahui bahwa Fir’au membangun istana yang lebih indah dan lebih megah dari istana ini. Tetapi Allah menghancurkan istana itu … karena kedurhakaan dan kesombongannya …"
Kritik itu berlangsung cukup lama. Beberapa orang mulai cemas dan berbisik kepada Hasan Al-Basri, "Ya Abu Sa’id, cukupkanlah kritikmu, cukuplah!" Namun beliau menjawab, "Sungguh Allah telah mengambil janji dari orang-orang yang berilmu, supaya menerangkan kebenaran kepada manusia dan tidak menyembunyikannya."

Begitu mendengar kritik tajam tersebut, Al-Hajaj menghardik para ajudannya, "Celakalah kalian! Mengapa kalian biarkan budak dari Basrah itu mencaci maki dan bicara seenaknya? Dan tak seo¬rangpun dari kalian mencegahnya? Tangkap dia, hadapkan kepadaku!" .

Semua mata tertuju kepada sang Imam dengan hati berge¬tar. Hasan Al-Basri berdiri tegak dan tenang menghadapi Al-Hajaj bersama puluhan polisi dan algojonya. Sungguh luar biasa ketenan¬gan beliau. Dengan keagungan seorang mu’min, izzah seorang muslim dan ketenangan seorang da’i, beliau hadapi sang tiran.

Melihat ketenangan Hasan Al-Basri, seketika kecongkakan Al-Hajaj sirna. Kesombongan dan kebengisannya hilang. Ia langsung menyambut Hasan Al-Basri dan berkata lembut, "Kemarilah ya Abu Sa’id …" Al-Hasan mendekatinya dan duduk berdampingan. Semua mata memandang dengan kagum.

Mulailah Al-Hajaj menanyakan berba¬gai masalah agama kepada sang Imam, dan dijawab oleh Hasan Al-Basri dengan bahasa yang lembut dan mempesona. Semua pertanyaan¬nya dijawab dengan tuntas. Hasan Al-Basri dipersilakan untuk pulang. Usai pertemuan itu, seorang pengawal Al-Hajaj bertanya, "Wahai Abu Sa’id, sungguh aku melihat anda mengucapkan sesuatu ketika hendak berhadapan dengan Al-Hajaj. Apakah sesungguhnya kalimat yang anda baca itu?" Hasan Al-Basri menjawab, "Saat itu kubaca: Ya Wali dan PelindungKu dalam kesusahan. Jadikanlah hukuman Hajaj sejuk dan keselamatan buatku, sebagaimana Engkau telah jadikan api sejuk dan menyelamatkan Ibrahim."

Nasihatnya yang terkenal diucapkannya ketika beliau diundang oleh penguasa Iraq, Ibnu Hubairoh, yang diangkat oleh Yazid bin Abdul Malik. Ibnu Hubairoh adalah seorang yang jujur dan sholeh, namun hatinya selalu gundah menghadapi perintah-perintah Yazid yang bertentangan dengan nuraninya. Ia berkata, "Allah telah memberi kekuasan kepada Yazid atas hambanya dan mewajibkan kita untuk mentaatinya. Ia sekarang menugaskan saya untuk memerintah Iraq dan Parsi, namun kadang-kadang perintahnya bertentangan dengan kebenaran. Ya, Abu Sa’id apa pendapatmu? Nasihatilah aku …"

Berkata Hasan Al-Basri, "Wahai Ibnu Hubairoh, takutlah kepada Allah ketika engkau mentaati Yazid dan jangan takut kepada Yazid¬ketika engkau mentaati Allah. Ketahuilah, Allah membelamu dari Yazid, dan Yazid tidak mampu membelamu dari siksa Allah. Wahai Ibnu Hubairoh, jika engkau mentaati Allah, Allah akan memelihara¬mu dari siksaan Yazid di dunia, akan tetapi jika engkau mentaati Yazid, ia tidak akan memeliharamu dari siksa Allah di dunia dan akhirat. Ketahuilah, tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam ma’siat kepada Allah, siapapun orangnya." Berderai air mata Ibnu Hubairoh mendengar nasihat Hasan Al-Basri yang sangat dalam itu.

Pada malam Jum’at, di awal Rajab tahun 110H, Hasan Al-Basri memenuhi panggilan Robb-nya. Ia wafat dalam usia 80 tahun. Pendu¬duk Basrah bersedih, hampir seluruhnya mengantarkan jenazah Hasan Al-Basri ke pemakaman. Hari itu di Basrah tidak diselenggarakan sholat Ashar berjamaah, karena kota itu kosong tak berpenghuni.

sumber: http://myquran.org

0 comments

Perjalanan Yang Jauh

Nurah, saudara perempuanku nampak pucat dan kurus sekali. Tetapi
seperti biasa, ia masih membaca Al-Qur’anul Karim. Jika ingin
menemuinya, pergilah ke mushallanya. Di sana engkau akan mendapatinya
sedang ruku’, sujud dan menengadahkan ke langit. Itulah yang
dilakukannya setiap pagi, sore dan di tengah malam hari. Ia tidak
pernah jenuh.

Berbeda dengannya, aku selalu asyik membaca majalah-majalah seni,
tenggelam dengan buku-buku cerita dan hampir tak pernah beranjak dari
video. Bahkan, aku sudah identik dengan benda yang satu ini. Setiap
video diputar pasti di situ ada aku. Karena ‘kesibukanku’ ini, banyak
kewajiban yang tak bisa kuselesaikan bahkan, aku suka meninggalkan
shalat. Setelah tiga jam berturut-turut menonton video di tengah
malam, aku dikagetkan oleh suara adzan yang berkumandang dari masjid
dekat rumahku. Sekonyong-konyong malas menggelayuti semua
persendianku, maka aku pun segera menghampiri tempat tidur. Nurah
memanggilku dari mushallanya. Dengan berat sekali, aku menyeret
kaki menghampirinya.

“Ada apa Nurah?,” tanyaku.

“Jangan tidur sebelum shalat Subuh!”, ia mengingatkan. “Ah. Subuhkan
masih satu jam lagi. Yang baru saja kan adzan pertama!” Begitulah, ia
selalu penuh perhatian padaku. Sering memberiku nasihat, sampai
akhimya ia terbaring sakit. ia tergeletak lemah di tempat tidur.

“Hanah!,” panggilnya lagi suatu ketika. Aku tak mampu menolaknya.
Suara itu begitu jujur dan polos. “Ada apa saudariku?”, tanyaku pelan.

“Duduklah!”

Aku menurut dan duduk di sisinya. Hening… Sejenak kemudian Nurah
melantunkan ayat suci Al-Qur’an dengan suaranya yang merdu.

“Tiap jiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari Kiamat
sajalah disempurnakan pahalamu.” (Al Imran: 185) Diam sebentar, lalu
ia bertanya: “Apakah kamu tidak percaya adanya kematian?” “Tentu saja
percaya!”

“Apakah kamu tidak percaya bahwa amalmu kelak akan dihisab, baik yang
besar maupun yang kecil?” “Percaya. Tetapi bukankah Allah Maha
Pengampun dan Maha Penyayang, sementara aku masih muda, umurku masih
panjang!”

“Ukhti, apakah kamu tidak takut mati yang datangnya tiba-tiba?
Lihatlah Hindun, dia lebih muda darimu, tetapi meninggal karena
sebuah kecelakaan. Lihat pula si fulanah…Kematian tidak mengenal
umur. Umur bukan ukuran bagi kematian seseorang. Aku menjawabnya
penuh ketakutan. Suasana tengah malam yang gelap mencekam, semakin
menambah rasa takutku.

“Aku takut dengan gelap, bagaimana engkau menakut-nakutiku lagi dengan
kematian? Di mana aku akan tidur nanti ?” Jiwa asliku yang amat
penakut betul-betul tampak. Kucoba menenangkan diri aku benusaha
tegar dengan mengalihkan pembicaraan pada tema yang menyenangkan,
rekreasi.

“Oh ya, kukira ukhti setuju pada liburan ini kita pergi rekreasi
bersama?”, pancingku. “‘Tidak, karena barangkali tahun ini aku akan
pergi jauh, ke tempat yang jauh… mungkin… umur ada di tangan
Allah, Hanah”, ia lalu terisak. Suara itu bergetar, aku ikut hanyut
dalam kesedihan.

Sekejap, langsung terlintas dalam benakku tentang sakitnya yang
ganas. Para dokter, secara rahasia telah mengabarkan hal itu kepada
ayah. Menurut analisa medis, para dokter sudah tak sanggup, dan itu
berarti dekatnya kematian. Tetapi, siapa yang mengabarkan ini semua
padanya?, atau ia memang merasa sudah datang waktunya?, “Mengapa
termenung? Apa yang engkau lamunkan?”, Nurah membuyarkan lamunanku.

“Apa kau mengira, hal ini kukatakan karena aku sedang sakit? Tidak.
Bahkan boleh jadi umurku lebih panjang dari umur orang-orang sehat.

Dan kamu, sampai kapan akan terus hidup? Mungkin 20 tahun lagi, 40
tahun atau… Lalu apa setelah itu? Kita tidak berbeda. Kita semua
pasti akan pergi, entah ke Surga atau ke Neraka. Apakah engkau belum
mendengar ayat: “Barangsiapa dijauhkan dari Neraka dimasukkan ke
dalam Surga maka sungguh ia telah beruntung” ( Ali Imran:
185) “Sampai besok pagi,” ia menutup nasihatnya.

Aku bergegas meninggalkannya menuju kamar. Nasihatnya masih terngiang-
ngiang di gendang telingaku, “Semoga Allah memberimu petunjuk, jangan
lupa shalat!” Pagi hari…Jam dinding menunjukkan angka delapan pagi.
Terdengar pintu kamarku diketuk dari luar. “Pada jam ini biasanya aku
belum mau bangun” pikirku. Tetapi di luar terdengar suara gaduh,
orang banyak terisak. “Ya Rabbi, apa yang terjadi?”

“Mungkin Nurah…?, “firasatku berbicara. Dan benar, Nurah pingsan,
ayah segera melarikannya ke rumah sakit. Tidak ada rekreasi tahun
ini. Kami semua harus menunggui Nurah yang sedang sakit. Lama sekali
menunggu kabar dari rumah sakit dengan harap-harap cemas. Tepat pukul
satu siang, telepon di rumah kami berdering. Ibu segera
mengangkatnya. Suara ayah di seberang, ia menelpon dari rumah
sakit. “Kalian bisa pergi ke rumah sakit sekarang!,”
demikian pesan ayah singkat.

Kata ibu, tampak sekali ayah begitu panik, nada suaranya berbeda dari
biasanya.

“Mana sopir…?” kami semua terburu-buru: Kami menyuruh sopir
menjalankan mobil dengan cepat. Tapi ah, jalan yang biasanya terasa
dekat bila aku menikmatinya dalam perjalanan liburan, kini terasa
amat panjang, panjang dan lama sekali. Jalanan macet yang biasanya
kunanti-nantikan sehingga aku bisa menengok ke kanan-kiri, cuci mata,
kini terasa menyebalkan. Di sampingku, ibu berdo’a untuk keselamatan
Nurah.

“Dia anak shalihah. Ia tidak pernah menyia-nyiakan waktunya. Ia
begitu rajin beribadah”, ibu bergumam sendirian. Kami turun di depan
pintu rumah sakit. Kami segera masuk ruangan. Para pasien pada
tergeletak lunglai. Di sana sini terdengar lirih suara rintihan. Ada
yang baru saja masuk karena kecelakaan mobil, ada yang matanya buta,
ada yang mengerang keras. Pemandangan yang membuat bulu kudukku
merinding. Kami naik tangga eskalator menuju lantai atas. Nurah
berada di ruang perawatan intensif. Di depan pintu terpampang
papan peringatan: “Tidak boleh masuk lebih dari satu orang!” Kami
terperangah. Tak lama kemudian, seorang perawat datang menemui, kami.
Perawat memberitahu kalau kini kondisi Nurah mulai membaik, setelah
beberapa saat sebelumnya tak sadarkan diri.

Di tengah kerumunan para dokter yang merawat, dari sebuah lubang kecil
jendela yang ada di pintu, aku melihat kedua bola mata Nurah sedang
memandangiku. Ibu yang berdiri di sampingnya tak kuat menahan air
matanya. Waktu besuknya habis, ibu segera keluar dari ruang perawatan
intensif.

Kini tiba giliranku masuk. Dokter memperingatkan agar aku tidak banyak
mengajaknya bicara. Aku diberi waktu dua menit.

“Assalamu ‘alaikum!, bagaimana keadaanmu Nurah?, tadi malam, engkau
baik-baik saja. Apa yang terjadi denganmu?”, aku menghujaninya dengan
pertanyaan.

“Alhamdulillah, aku sekarang baik-baik saja, jawabnya dengan berusaha
tersenyum.

“Tapi, mengapa tanganmu dingin sekali, kenapa?” aku menyelidik. Aku
duduk di pinggir dipan. Lalu kucoba meraba betisnya, tapi ia segera
menjauhkannya dari jangkauanku.

“Ma’af, kalau aku mengganggumu!”, aku tertunduk.

“Tidak apa-apa. Aku hanya ingat firman Allah Ta’alaa:
“Dan bertaut betis(kiri) dengan betis(kanan), kepada Tuhanmullah pada
hari itu kami dihalau”. (Al-Qiyamah: 29-30)

Nurah melantunkan ayat suci Alquran. Aku menguatkan diri. Sekuat
tenaga aku berusaha untuk tidak menangis di hadapan Nurah, aku
membisu.

“Hanah, berdoalah untukku. Mungkin sebentar lagi aku akan menghadap.
Mungkin aku segera mengawali hari pertama kehidupanku di akhirat
Perjalananku amat jauh tapi bekalku sedikit sekali”.

Pertahananku runtuh. Air mataku tumpah. Aku menangis sejadi-jadinya.
Ayah mengkhawatirkan keadaanku. Sebab mereka tak pernah melihatku
menangis seperti itu. Bersamaan dengan tenggelamnya matahari pada
hari itu. Nurah meninggal dunia. Suasana begitu cepat berubah.
Seperti baru beberapa menit aku bebincang-bincang dengannya. Kini ia
telah meninggalkan kami buat selama-selamanya. Dan, ia tak akan
pernah bertemu lagi dengan kami. Tak akan pernah pulang lagi. Tidak
akan bersama-sama lagi. Oh Nurah Suasana di rumah
kami digelayuti duka yang amat dalam. Sunyi mencekam. Lalu pecah oleh
tangisan yang mengharu biru. Sanak kerabat dan tetangga berdatangan
melawat. Aku tidak bisa membedakan lagi, siapa-siapa yang datang,
tidak pula apa yang mereka percakapan.

Aku tenggelam dengan diriku sendiri. Ya Allah, bagaimana dengan
diriku? Apa yang bakal terjadi pada diriku? Aku tak kuasa lagi, meski
sekedar menangis. Aku ingin memberinya penghormatan terakhir. Aku
ingin menghantarkan salam terakhir. Aku ingin mencium keningnya.

Kini, tak ada sesuatu yang kuingat selain satu hal. Aku ingat firman
Allah yang dibacakannya kepadaku menjelang kematiannya. “Dan bertaut
betis (kiri) dengan betis (kanan)”. Aku kini benar-benar paham
bahwa “Kepada Tuhanmullah pada hari itu kamu dihalau”

“Aku tidak tahu, ternyata malam itu, adalah malam terakhir aku
menjumpainya di mushallanya. Malam ini, aku sendirian di mushalla
almarhumah terbayang kembali saudara kembarku, Nurah yang demikian
baik kepadaku. Dialah yang senantiasa menghibur kesedihanku, ikut
memahami dan merasakan kegalauanku, saudari yang selalu mendo’akanku
agar aku mendapat hidayah Allah, saudari yang senantiasa mengalirkan
air mata pada tiap-tiap pertengahan malam, yang selalu menasihatiku
tentang mati, hari perhitungan .ya Allah! Malam ini adalah malam
pertama bagi Nurah di kuburnya. Ya Allah, rahmatilah dia, terangilah
kuburnya. Ya Allah, ini mushaf Nurah, ini sajadahnya dan ini..ini
gaun merah muda yang pernah dikatakannya padaku, bakal dijadikan
kenangan manis pernikahannya.

Aku menangisi hari-hariku yang berlalu dengan sia-sia. Aku menangis
terus-menerus, tak bisa berhenti. Aku berdo’a kepada Allah semoga Dia
merahmatiku dan menerima taubatku. Aku mendo’akan Nurah agar mendapat
keteguhan dan kesenangan di kuburnya, sebagaimana ia begitu sering
dan suka mendo’akanku.

Tiba-tiba aku tersentak dengan pikiranku sendiri. “Apa yang terjadi
jika yang meninggal adalah aku? Bagaimana kesudahanku?” Aku tak
berani mencari jawabannya, ketakutanku memuncak. Aku menangis,
menangis lebih keras lagi. Allahu Akbar, Allahu Akbar…Adzan fajar
berkumandang.

Tetapi, duhai alangkah merdunya suara panggilan itu kali ini. Aku
merasakan kedamaian dan ketentraman yang mendalam. Aku jawab ucapan
muadzin, lalu segera kuhamparkan lipatan sajadah, selanjutnya aku
shalat Subuh. Aku shalat seperti keadaan orang yang hendak berpisah
selama-lamanya. Shalat yang pemah kusaksikan terakhir kali dari
saudari kembarku Nurah. Jika tiba waktu pagi, aku tak menunggu waktu
sore dan jika tiba waktu sore, aku tidak menunggu waktu pagi.

Sumber: http://www.agus-haris.net

0 comments

Pada Gerimis Satu Satu

Pada Gerimis Satu-satu
Elzam Zami*)
Publikasi : Rakyat Bengkulu, 28 November 2004

Padanya aku menghamparkan persahabatan yang unik. Eve selalu hadir mengisi jenak-jenak waktu yang kucoba rangkai menjadi jauh lebih indah. Dan ternyata itu memang berhasil. Meskipun harus kuakui ada beberapa nama perempuan lain yang hadir mengisi memori sepanjang masa di belakangku kemarin.

“Persahabatan kita adalah konsep saling memberi manfaat dalam kebaikan” kata Evie ketika awal persahabatan kami di mulai. Aku lebih menyukai menyebutnya Eve –dengan menghilangkan huruf i– lebih dekat kepada sebutan Hawa pada orang Barat. Namun bukan berarti aku mencintainya karena namaku Adam sehingga aku menganggapnya pasangan seperti Nabi Adam kepada Siti Hawa.

Aku pernah bertanya padanya, “Kau tahu Eve, kenapa aku menyukai bergaul denganmu?” Dia hanya mengangkat bahunya sembari menyeruput segelas es jeruk.

“Kamu orangnya asyik banget menempatkan sahabat pada posisi yang terhormat. Bersamamu aku merasa dimanusiawikan dengan sikapmu…”

“Hmm…Adam, Adam! Selagi kita ingin menikmati pertemanan, mengapa kita tidak memenuhi keinginan hati kita yang jujur untuk bersikap alamiah pada orang lain? Bukankah kebaikan itu alamiah? Banyak juga yang menyebut fitrah manusia adalah mencintai kebaikan,” Jawab Eve yang membuat aku kian kagum pada sosoknya.

“Oo, begitu ya? Sampai kau menjelma menjadi perempuan yang berkepribadian seperti Putri Abu dalam dongeng. Maaf, itu bukan berarti aku mengharapkan kau mendapat kemalangan seperti Putri tersebut. Kebaikanmu yang sama dengan kebaikan tulus putri yang malang itu.”

“Jangan memujiku berlebihan, friend. Aku Cuma Evie yang bersahabat padamu bukan karena latar belakang tertentu. Naluriku mengatakan persahabatan itu lumrah dan menyenangkan.” Jawab Eve santai. Sesantai penampilannya yang selalu sederhana. Ia tak pernah kulihat berdandan modis seperti kebanyakan perempuan. Padahal ia punya cukup uang untuk mempermak penampilannya agar menarik dan lebih wah. Seperti saat ini jeans yang ia kenakan hanya dipadu dengan kemeja gombrong bergaris kotak-kotak.

“Padahal aku punya teman dekat sebagai pacar. Tapi kedekatan kita sepertinya melebihi hubungan aku dengan Raisya!” ungkapku meryebut nama pacarku yang terbaru. Aku memang punya seorang saja sahabat dalam artian seperti persahabatanku dengan Eve. Berbeda dengan kekasih, ada beberapa banyak gadis yang memiliki hubungan denganku yang kata orang “cinta”.

“Ah, bedakanlah kedekatan kita dengan kedekatan bersama gadis-gadismu. Kupikir ada nilai yang jauh berbeda ketimbang hubungan antar kekasih. Entahlah…aku masih terus memikirkannya Adam.”

“Ya, pikiranku bingung mengapa persahabatan kita lebih awet daripada ikatanku dengan mereka. Pacar-pacarku yang seabrek-abrek itu.” Aku tertawa akan kekonyolanku.

Eve menjawab retoris, “Apakah itu berarti hubungan persahabatan kita tidak boleh lebih baik dari hubungan sepasang kekasih?” Aku terhenyak! Betul juga katanya.

Begitulah, ditengah kesibukan bermain cinta dengan beragam gadis yang biasanya tak bertahan lama. Persahabatanku dengan Eve kian bersinar terang memberi ruang segar untuk membagi kata, riang, gundah , dan emosi lain pada sosok manusia lain di luar diriku sendiri.

* * *

Namun tiba-tiba pada gerimis satu-satu yang turun ke bumi, saat matahari bersinar terik di siang hari, Eve berubah. Ia menggugat hebat konsep yang selama ini kami pertahankan.

Ini pertemuan kami yang pertama kali di bulan November yang telah memasuki akhir bulan. Aku memang mengurangi jadwalku sekedar berbincang dengan Eve. Tidak ada alasan apa-apa yang melatarbelakangiku berbuat demikian. Aku cuma ingin demikian saja. Lagipula bulan ini aku bolak-balik menyelesaikan penelitian skripsiku di sebuah desa tertinggal. Praktis waktuku tersita kesana. Selebihnya aku mengunjungi Raisya. Perempuan yang kucoba dekati dengan lebih intensif lagi. Cewek itu sulit sekali ditaklukkan ternyata. Namun, ketika aku menemuinya serta merta ia mendepakku. Sambutan yang tak seperti biasanya.

“Eve, apa yang baru kau ucapkan tadi? Kau…?! Apakah kau dalam keadaan baik-baik?” aku bertanya sangsi. Mengapa tiba-tiba ia mendamprat semua perilakuku justru pada saat ini. Tidak ketika dulu-dulu, karena ia mengenalku sudah jauh sekali.

“Kau telah berlaku kurang ajar pada gadis-gadismu” Ia menjustifikasi kesalahanku dengan enaknya.

“Ha! Kurang ajar?! Apa yang telah kulakukan pada pacar-pacarku? Sekedar berbincang, jalan bareng, nonton, merayu, mengelusnya dan…” Aku mencoba membela dengan tegas. “Dan bukankah itu wajar mewakili cinta pada kekasih” tambahku menjelaskan.

“Ya! Wajar katamu. Dan karena cinta sempitmu itu kau sampai melupakan sahabatmu. Dimanakah kau saat aku ingin cerita ketika aku sedih kehilangan Ayah? Dimanakah kau ketika aku ingin membagi kebahagiaan ketika syukuran wisudaku? Dimanakah Cinta untukku? Dimana???”

Ha! Sedemikian banyakkah moment penting Eve yang ia lewati sampai aku tak memperdulikannya. Tapi apa yang ia katakan terakhir tadi? Cinta?

“Eve…” potongku cepat. Tidak mengerti. “Apa-apaan ini! Okey, aku mengaku salah karena tidak pernah menghubungimu akhir-akhir ini. Aku bersalah karena terlalu sibuk dengan Raisya pacar baruku. Tapi apa yang kau ungkapkan terakhir tadi?”

Aku menghela nafas. Berat sekali bagiku mengutarakannya. Takut ia lebih tersinggung dan melukai hatinya. Jujur aku tidak pernah merasa ia memperlakukanku kasar hingga tersinggung dan sakit hati. Tapi kenapa mesti ada rasa itu Eve? Berontakku dalam hati.

“Kenapa kau mengharapkan cintaku, Eve…?! Seorang Adam yang merupakan sahabatmu.” Lepas sudah kata yang mewakili kepenasaranku.

Suasana cuaca yang tidak bersahabat meningkahi pertengkaran kami. Hujan gerimis bak jarum yang meluncur berpendar di bumi. Sementara matahari bersinar terik. Perpaduan panas dan dingin yang menimbulkan sensasi pening, apalagi ditambah keadaan hati kami.

“Huh! Begitu sempit ternyata kau memandang cinta, seperti kataku tadi. Baru kusadari cinta memang tak pernah ada pada sosokmu Adam!” Eve menjelma menjadi sosok yang membingungkan, kalau tidak boleh kukatakan menyebalkan. Benar-benar!

Aku mencoba menjelaskannya lagi dengan lebih tenang, “Aku tidak mungkin menjadi kekasihmu, Eve. Aku menyukaimu, tapi bukan berarti aku…”

“Ya, ya…! Tidak mungkin menjadi kekasihmu. Pelampiasan cinta yang dalam benakmu hanya ada kamus cinta busuk! Cinta nafsu.” Ia segera beranjak dari tempat duduk dan membayar minuman yang tadi kami pesan. Aku tak bermaksud mencegahnya. Biarlah kemarahannya mengendap.

Dikejauhan pandangan mataku terus lurus. Gadis yang sebenarnya teramat baik itu menerobos alam terbuka. Pada gerimis satu-satu…

* * *

Dalam derai sunyi ini aku mengungkap diri. Pada sepi malam yang mungkin mampu memberiku masukan bagaimana harus berbuat untuk seorang Eve. Potongan hatinya telah kulihat di sini berkeping-keping. Dan Eve berpikir itu semua karena perbuatanku. Aku telah membuat ia rapuh dan berderai dalam keping-keping marah.

Eve, sesungguhnya aku masih ingin menikmati hubungan kita seperti dulu lagi. Aku akan kembali menata komitmen ideologi persahabatan kita. Aku memang terlalu acuh pada konsep “memberi mamfaat dalam kebaikan untuk sebuah persahabatan.”

Pada pacar-pacarku yang daftarnya berderet-deret aku mampu meninggalkan mereka. Meski setiap berakhirnya hubungan lebih di dominasi perpecahan hati. Cinta selalu meninggalkan luka, benci, dan mungkin dendam ketika berakhir miris pada setiap gadisku. Tapi itu wajarkan menurutku. Mereka tak berhak menuntut apa yang telah kami lakukan dan terukir kala cinta masih indah. Karena cinta sepasang kekasih ternyata juga seperti waktu, selalu berubah. Egois memang!

Namun untukmu Eve! Aku tidak ingin semuanya berakhir negatif. Tidak juga luka dihatimu, luka dihatiku. Karena memang hubungan ini murni dalam kebaikan. Hubungan ini jujur memberikan banyak kebaikan tak terukur. Sama sekali berbeda dengan hubunganku dengan Naura misalnya, kadangkala kusisipkan sesuatu untuknya. Ya! Sesuatu yang membuat aku berpikir saat ini. Kata apa yang harus mewakilinya. Oh! Eve…aku bergidik ngeri! Aku menyisipkan nafsu untuk legalitas cinta. Kata yang tepat, benar apa yang kau tuduhkan waktu siang gerimis itu.

Malam ini aku tak bisa memejamkan mata. Ada Kecamuk gundah yang harus terungkap lepas. Jika kondisi seperti ini, biasanya memang Evelah yang kuajak bicara. Ia akan mendengarkan dengan tenang. Memberikan komentar dengan konsep filosofisnya yang kadang kupikir susah diaplikasikan. Tapi aku selalu suka dan menyimak kata demi kata dari bibirnya. Apakah pertengkaran tadi siang adalah salah satu konsepnya yang memang tak bisa kuterjemahkan itu. Entahlah!

Aku telah ada dihadapan Eve. Sengaja aku datang untuk mengungkapkan apa yang kurenungkan tadi malam.

“Ya, begitulah Eve…mungkin ada yang salah dalam aku menempatkan cinta” aku menutup uraian renunganku. Persis seperti apa yang terpikir padaku malam tadi.

Eve menatapku lembut, “Apa yang kau ketahui tentang cinta?”

“Seperti yang kau lihat praktiknya selama ini pada hidupku.”

“Apa salah aku mencintaimu? Apakah cinta harus terkekang pada definisi hubungan antar lawan jenis yang selalu kita ikat dengan kata pacaran atau pernikahan?” kejarnya bertubi-tubi. Kalimat itu tajam, meski aku tahu Eve tidak lagi marah.

“Eve…! Please deh, jangan membuatku bingung.”

“Cinta adalah kata yang universal. Tidak hanya satu untuk diambil alih paksa istilahnya pada hubungan cinta Adam pada Naura, cinta Adam pada Raisya, atau cinta yang sah sekalipun, cinta suami pada isteri” ia mulai mengurai konsep. Aku mencoba menterjemahkannya dengan sederhana di benakku.

“Kalau kau menempatkan cinta selama ini dimana? Mana cinta untuk sesama yang mesti kau bagi, padaku sebagai saudara plus sahabat. Pada kepapaan yang selalu tampak di lingkungan kita. Dan satu lagi Adam! Kau percaya pada Tuhan?”

“Ya, kenapa tidak?”

“Mana cintamu pada denting transendental. Sesejatinya cinta adalah pada Tuhan yang berlapis ganda cinta horison an-nas, manusia. Maaf aku mengatakan ini, karena aku juga sedang memaknai cinta ini” ujarnya.

Oh god! Sejauh itu? Mungkin kau benar Eve, kata-katamu memang benar-benar tepat. Apakah aku memperdulikankan cinta Tuhan saat bercinta dengan pacar-pacarku? Bahkan aku telah melupakan cinta sesama saudara (seperti halnya cinta kita Eve) ketika asyik pada kekasihku. Ahh….kau benar Eve!

“Cinta kekasih…” aku menggumam datar. Eve mendengarnya.

“KE KA SIH, menurutku ungkapan itu tidak hanya bisa kita sandangkan pada manusia. Bagaimana dengan kekasih kita yang maha mengasihi? Berarti Allah adalah kekasih kita. Bagaimana ini, Adam?” Eve bingung terjebak pada logika kata-kata.

Aneh! Tiba-tiba aku ingin mengatakan, “Ya, begitulah Eve. Pada ketenangan hati kita harus mengakui, jika ia bergejolak gundah turuti saja inginnya yang jujur, aku akan coba menata cinta proporsional ini?”

Dan Eve makin bingung muara cinta yang kami perdebatkan sampai pada puncak yang terkesan hakiki.

Sedetik kemudian Eve mengangguk tulus, ramah, “Dan jangan kau katakan cintaku padamu karena aku ingin menjadi kekasihmu.” Gadis itu mengubah perspektif cintaku.

* * *

Lama aku tak mengetahui kabar berita dari Eve. Terakhir suratnya menghampiriku dua bulan yang lalu. Katanya jika kami jarang berkomunikasi bukan berarti hubungan persahabatan putus. Ia selalu mengingat dan berdo’a untukku. Saat ini ia sedang mendalami apa itu cinta yang hakiki di pesantren. Tempat yang menurut Eve tepat untuk mengupas habis cinta yang selama ini dicari.

Eve, bagaimanakah penampilanmu sekarang? Bagaimanakah pandangan-pandanganmu sekarang? Suatu saat kita akan bertemu lagi kan, Eve? Tanyaku pada diri sendiri.

Ternyata gerimis bercampur terik matahari tak hanya meninggalkan sensasi pening. Keadaan cuaca siang kala perdebatan itu terjadi. Pada gerimis satu-satu aku berterimakasih…

0 comments

Diary

Dipublikasi pada Ahad, 21 September 2003 oleh aharis Annida No.12 Th.XI

April 1984

Menjelang Ujian Akhir SMP

Gempa hebat melanda keluargaku, dan telah memporakporandakan bangunan hatiku.

Allahu Robbi, kenapa Bapak tega melakukan semua ini? Tak tega melihat ibu yang diam

mematung dengan air mata berlelehan. Sementara Pak Jono, Pak Dodi, teman sekantor

Bapak menjelaskan dengan bahasa yang dibuat sehalus mungkin.

Aku mengintip takut-takut dari lubang kunci, raut wajah Ibu yang tiba-tiba menegang,

lalu air mata yang tumpah bak banjir bandang.

Bapak dipecat, karena menyelewengkan dana kantor dan terbukti melakukan tindakan asusila dengan rekan wanitanya di kantor. Bahkan, wanita itu telah diberinya rumah di Kecamatan Pare, tiga puluh kilometer dari rumah kami.Bapak dipenjara atas tuduhan korupsi dan berselingkuh dengan istri orang.Aku tahu, bukan sekali ini saja Bapak Mengkhianati Ibu. Sebagai anak tertua aku sudah bisa membaca hubungan kedua orang tuaku. Namun baru kali iniku lihat Ibu begitu terpukul. Tentu, dengan dipecatnya Bapak, berarti asap tak akan mengepul lagi di tungku keluarga kami. Sementara lima orang anak

perempuan setiap hari membutuhkan jatah nasi yang tidak sedikit. Melihat Ibu bermuram durja, semangat belajarku hilang seketika.

Mei 1984

Ujian Akhir, 03.00 Pagi

Suara lantunan ayat-ayat suci membangunkanku dari lelap. Ibu! Begitu biasanya beliau membangunkan kami untuk shalat lail. Segera kutepuk Tini untuk menyusul Ibu. Mata adikku masih memerah menahan kantuk. Tapi kusemangati dia, “Ayo, katanya ingin berdoa, Tini ingin minta apa?” Malam begini dingin menyambut kami di kamar mandi. Air terasa seperti butiran es.

Kuusap mataku dan mata Tini sambil tersenyum, sekejap kemudian kesegaran mengaliri seluruh tubuh. Lenyap sudah kantuk yang memberati mata. Ibu menyambut kami dengan senyum, tapi…. Matanya begitu sembab, pasti Ibu habis menangis. “Mana adik-adikmu yang lain, Nduk?” kami saling berpandangan, lalu menggeleng dan tersenyum malu. Habis, sulit sekali membangunkan Lastri dan Tinah, bisa ditendang aku nanti, maklum, mereka masih kecil. Usai tahajud, aku terus mengambil buku dan belajar. Ibu menemani sambil meneruskan tadarus Qur’an-nya. Ibu…. Bagaimana orang sealim Ibu bisa mendapatkan orang seperti Bapak. Ah, ngelantur aku ini, kalau tidak ada Bapak, berarti aku juga tidak ada.

Akhir Mei 1984

Akhirnya, selesai sudah ujian akhirku. Alhamdulillah leganya. Setidaknya aku mulai bisa memikirkan yang lain untuk membantu mengurangi beban Ibu. Yah, mau bagaimana lagi, Ibu memutuskan menjual sebagian tanah warisannya untuk menebus Bapak dari penjara.

“Bagaimana pun dia bapakmu, Wuk, sejahat dan sebejat apa pun kelakuannya, darahnya

lah yang mengalir di tubuhmu.”

Aku juga tak tahu musti harus bagaimana. Rasanya kaget tiba-tiba ikut terlibat dalam permasalahan rumit ini. Tapi Ibu butuh teman bicara. Dan aku, anak sulungnyalah yang bisa melakukan itu. Ya, mesti cuman sebatas mendengarkan. Menanti Bapak pulang seperti menunggu datangnya makhluk asing dari planet lain. Ada rindu, ada benci, ada juga rasa asing yang tak bisa kumengerti.

Entahlah, dari dulu kami memang tak bisa dekat. Bapak menginginkan anak laki-laki, sementara kelima anaknya perempuan. Barangkali itulah yang membuat sulit sekali diajak bermanja. Suatu sore, saat matahari senja merah saga memenuhi langit,

Bapak benar-benar pulang. Sosoknya yang tinggi besar memenuhi pintu rumah.

Dan Ibu menyambutnya seperti biasa, dengan mencium tangan Bapak, dan menyuruh kami melakukan hal yang sama. Tanpa beban, seolah tak terjadi apa pun yang pernah mengguncang keluarga kami. Kucari dendam di mata Ibu, tapi ya Rabbi, mata itu begitu

ikhlas dan tabah. Sementara hatiku sudah mulai tertorehi luka.

Agustus 1984

Perekonomian keluarga kami benar-benar terpuruk. Aku tak bisa melanjutkan kuliah. Jangankan untuk mendaftar SMA, untuk makan sehari-hari pun mulai kesulitan.

Bapak berpamitan untuk mencari kerja di Bogor. Memang di kota kecil seperti Kediri, mencari pekerjaan baru bukanlah hal mudah, apalagi untuk orang yang namanya sudah cacat seperti Bapak. Ibu mengambil alih perekonomian dengan membuka warung pecel di depan rumah.

Pagi buta sampai siang, Ibu mengurus warung pecelnya. Sore hingga malam membuat krecek, makanan ringan dari irisan singkong kering yang digoreng dan dibumbuhi gula merah serta cabai. Aku membantu Ibu sekuatnya. Aku punya kewajiban moral untuk membantunya, kalau bukan aku, siapa lagi? Bangun pukul empat pagi

Kini tak terasa dingin lagi. Sepagi itu aku dan Ibu mulai ke pasar. Tiba di rumah, kami berbagi tugas. Aku mencuci baju, Tini membersihkan rumah. Setelah beres, kami membantu Ibu menyaingi sayuran. Ketika adik-adikku berangkat sekolah aku mulai menyiapkan potongan-potongan singkong untuk digoreng. Bila malam tiba, sambil mengajari mereka, aku dan Ibu membungkus krecek ke dalam plastik agar esok pagi bisa kuedarkan ke warung-warung dan pasar Kandat. Ya Allah, Pengatur nasib umat, aku sangat bangga pada Ibu. Di tengah himpitan ini beliau masih terus berkhusnudzan kepada-Mu, terus mengajari kami bersabar, dan terus membimbing kami dengan cintanya. Ya Allah, berikanlah segala kebaikan-Mu untuk Ibu dan kami sekeluarga. Dan berilah kesadaran untuk Bapak, ya Allah, bahwa kami adalah putri-putri yang juga mengharap cintanya. Amin.

Agustus 1986

Bapak datang. Datang! Setelah sekian lama tanpa kabar dan kiriman apa pun.

Datang dengan sederet tuntutan dan lecehan pada Ibu. Tuntutan atas kehadiran anak laki-laki yang tak mampu dilahirkan Ibu. Dan satu pelecehan lagi yang membuat darahku berpacu ke ubun-ubun, beliau mengaku sudah menikah di Bogor dan mempunyai seorang anak laki-laki.

Tuntutan untuk menjual sisa tanah,dengan alasan anak laki-laki lebih berhak memperoleh daripada kami. Semua dikatakan Bapak saat kami kesulitan untuk sekedar mengisi perut. Entah keberanian apa yang membuatku lancang kepada Bapak. Kupukul dan kucakar lelaki yang kusebut bapak itu sehingga sebuah tamparan keras mendarat di pipiku.

Ibu yang tersimpuh di atas tubuhku dengan isakpelan, dan umpatan kasar Bapak, “Perempuan sialan, perempuan pincang!Seperti ini kau didik anakmu? Huh, dari dulu aku memang malu punya istri seperti kamu, dasar pincang!” Kali ini giliran Ibu yang mendapat tamparan Bapak. Sakit…. Sakit hatiku mendengar Ibu diumpat seperti itu.

Kaki Ibu memang tidak normal, terserang polio sedari kecil. Tapi bukan berarti ia tidak sempurna mendidik kami. Sungguh ia satu-satunya wanita yang membetot habis rasa cinta dan hormatku lebih dari apa pun. Satu lagi luka tertoreh. Kupandang Bapak dengan mata menyala. Biar….. biarlah Bu, Bapak mengambil tanah itu. Kita buktikan bahwa kita bisa hidup tanpa bantuannya bila itu yang Bapak mau. Aku berjanji, aku bertekad, akan kulakukan apa pun untuk Ibu dan adik-adikku.

Januari 1990

Rumah Makan Padang “Siang Malam”, Gringsing, Kendal Aku membawa truk bermuatan kelapa memasuki pelataran rumah makan. Sisa setengah perjalanan lagi menuju Jakarta. Ahmad dan Pak Gono membuka mata.

Dengan sopan aku menyilahkan mereka untuk beristirahat. Sementara aku harus berburu waktu mencari musholla, shalat Isya’. Celana hitam, jaket gombrangcoklat, dan jilbab kaos hitam telah menyulapku menjadi sosok yang cukup dikenal di rumah makan ini. Pemiliknya Pak Haji Yassin juga kenal denganku.Karena itu aku memilih tempat ini sebagai tempat istrirahat bila nyopir ke arah barat.

Selain lingkungannya apik, baik, juga ada musholla yang nyaman tempat aku istirahat sejenak. Sesekali bahkan Bu Haji menyuruhku istirahat di ruang belakang mereka. Sementara aku istirahat, Ahmad biasa mencuci kacadepan truk, mengisi air radiator, mengecek mesin, dan ban, serta tak lupa menyiapkan sebotol kecil kopi hangat di samping jok untuk persiapan nanti.

Truk ini milik Pak Jono, teman Bapak. Aku yang dipercaya mengelolanya dengan

sistem sewa. Dulu, hampir tiap hari aku keluar masuk desa untuk menawarkan jasa transportasi ini. Kini tinggal memetik hasilnya. Para petani dan pedaganglah yang datang apabila membutuhkan truk sekaligus sopirnya. Akutakpernah bercita-cita menjadi seorang sopir. Tidak, tidak karena itu dunialaki-laki yang keras dan penuh bahaya. Tapi aku tak punya pilihan lain.Hanya pekerjaan ini yang bisa menghasilkan uang paling banyak. Sekali nyopir aku bisa mengantongi uang lima puluh ribu sampai seratus ribu.

Bahkan bila musim panen, aku bisa memegang hingga satu juta rupiah sebulan. Alhamdulillah. Karena selain menyopir, aku juga memasok beberapa komoditi pasar seperti kelapa, pisang, semangka ke beberapa kota sekeliling Kediri.Tentu, dengan bagi hasil dengan Pak Jono.

Ibu terus berjualan pecel dan membuat krecek. Kini hanya dibantu Sundari karena Sutini dan Sulastri sudah kuliah di Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya. Sedang Partinah memilih ke Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.Bahagia rasanya melihat mereka terus sekolah, lebih bahagia karena mereka tak pernah mengecewakan lelehan keringatku. Mereka belajar keras, bahkan sangat keras untuk membahagiakan Ibu dan kakaknya yang sopir truk ini.Sekali waktu, Tini pernah marah padaku, ia minta diijinkan bekerja untuk ikut membantu ekonomi keluarga. Tapi adikku itu mengkeret begitu Melihatku memandang tajam ke arahnya. Adikku…. Maafkan Mbak Tiwuk. Biar Mbak Tiwuk saja yang berkorban, satu saja! Kalian semua jadilah manusia yang berhasil.Dengan lulus UMPTN, dengan kuliah yang benar, dengan cepat lulus, itu sudah cukup membantu Mbak Tiwuk. Sudah membuat Mbak bahagia. Jangan pikirkan yang lain. Doa Mbak untuk kalian semua.

Juli 1993

Rumah Makan “Ayem Tentrem”, Pelabuhan Ketapang Sudah larut malam ketika aku

beristirahat, menunggu kapal yang akan berangkat ke Pulau Bali. Ini rute pertamaku. Agak gamang juga. Tapi Ahmad, kenekku meyakinkan bahwa ia pernah ke Denpasar sebelumnya, jadi aku tak perlu khawatir tersesat.

Deretan truk terparkir dalam keremangan pelabuhan. Aku turun, mencari musholla dan tempat nyaman untuk menyantap rantang makanan bekal dari Ibu. Menjelang pukul dua, kudengar keributan di sekitar trukku. Ahmad berteriak-teriak, aku tertegun.Segerombolan preman tengah merubungnya. Tukang palak rupanya. Sementara Pak Sabar, pemilik kayu gelondongan yang kuangkut tergigil pucat pasi di sisi truk.

Pemalakan tidak tanggung-tanggung karena kami orang baru, diharuskan membayar biaya keamanan sebesar seratus ribu. Sejenak mereka melongo begitu tahu sopirnya wanita. Tapi tak pernah kugunakan sebutan itu untuk bersikaplemah, terlebih ini menyangkut hak untuk mencari penghidupan halal, hakasasi setiap umat untuk meneruskan hidupnya.

Setelah gertakan untuk melapor polisi tak ditanggapi, terpaksa kuladeni tantangannya. Ahmad satu tingkat di bawahku di perguruan Perisai Diri.

Jadi aku bisa mengandalkannya. Seratus ribu bukan jumlah yang sedikit. Apalagi Sulastri membutuhkan biaya untuk praktikumnya. Perkelahian berjalan tak seimbang, dua lawan tujuh. Kami bertarung sengit, tiga orang berhasil kami buat jatuh, seorang yang bertindak sebagai pemimpinnya berbuat nekad, saat tendangan kaki kiriku ku arahkan ke si brewok, ia menohok dari samping. Cras… kaki berbalut sepatu kets-ku berlumuran darah. Perih, darah keluar dengan deras. Aku masih bisa menangkis dua, tiga serangan, setelah itu gelap. Saat sadar aku telah berada dalam salah satu bangsal di RSU Banyuwangi. Menurut dokter, setelah sembuh nanti kemungkinan aku akan mengalami sedikit pincang. Sejumlah memar juga menghiasi leher dan punggung.Rupanya saat aku sudah jatuh mereka masih menendangiku. Untunglah Pak Sabar datang tepat pada waktunya dengan dua orang polisi pelabuhan. Aku bersyukur karena Ahmad dan Pak Sabar tak terluka. Ah, peristiwa pahit. Tapi tak akan melemahkan semangatku untuk terus mencari nafkah, karena lima bulan lagi Sundari lulus SMA.

Februari 1995

Kutuntun Ibu ke dalam ruangan penuh spanduk dan karangan bunga.Subhanallah, matahari pagi pucuk-pucuk pinisium ikut tersenyum memandang kami. Hari ini Sutini disumpah menjadi seorang dokter. Map hitam berlogo almamater diserahkan kepada Ibu dan aku sambil menahan tangis. “Ini….Untuk Ibu dan Mbak Tiwuk.”Kupeluk adikku, kuusap keningnya.

“Seandainya setiap kakak di dunia ini seperti Mbak Tiwuk…..,” ujarnya dengan mata basah.”Seandainya semua adik di dunia seperti kalian, tidak akan ragu seorang kakak melakukan apa pun,” kami berpelukan, kurengkuh bahu adikku, Tini yang bulan depan akan mengakhiri masa lajangnya, disunting oleh teman seangkatan, pemuda soleh yang bulan kemarin bersama keluarganya mengkhitbah Tini dirumah kecil kami. Jemputlah masa depanmu Adikku….Mbak Tiwuk ikhlas kau langkahi.

Mei 1997

Rumah Makan “Baranangsiang”, Bogor Menyebut kota ini menimbulkan luka lagi yang menganga, Bapak….. pelan ku eja namanya. Nama laki-laki yang seharusnya menanggung beban di atas pundakku. Pernikahan Tini kemarin beliau hadir, juga saat Tinah diakadkan.Semanis apa pun wajah kupasangkan, tak bisa membangun jembatan kemesraan anak beranak di antara kami. Hati ini terlanjur sakit.

Pada saat kupandang wajah Ibu, masih dengan tulus yang sama menyambut kepulangan Bapak. Alangkah luas telaga maafmu, Ibu. Sementara hanya setitik hormat yang masihku punya. Menurut berita yang kudengar, usaha Bapak di Bogor maju pesat,dengan seorang istri dan dua anak laki-laki yang diidamkannya.Syukurlah jika Bapak bahagia. Semoga waktu akan mengurai kebekuan hati ini hingga terbentuk maaf yang tulus untuknya. Karena aku tak mau selamanya jadi anak durhaka. Bukankah Allah telah begitu adil dengan apa yang telah kami terima selama ini? Sungguh aku bersyukur…….

Mei 2000

Rumah berdinding setengah bata setengah bambu kami terasa bertambah tua, atap dapur bahkan nyaris dorong. Seperti juga kerut pada Ibu, juga wajahnya yang makin mengental. Jika ada kesempatan untuk bernafas, inilah saatnya. Keempat adikku sudah mentas semua. Tinggal Sundari, itu pun sudah hamper mandiri, karena selain menyelesaikan S2, ia juga mengajar di sebuah yayasan. Kini perhatianku beralih ke Ibu. Ibu yang membesarkan kami dengan keduatangannya, dengan kakinya yang terseok, yang selalu membentengi kami melalui doa yang rutin dipanjatkan di setiap malam, melalui puasa Senn-Kamis, dengan keprihatinannya, juga dengan sabar dan cintanya.

“Wuk, bisa nggak ya niat Ibu kesampaian. Ibu ingin sekali melihat Baitullah.” Satu kata itulah yang menjadi perhatianku kini. Maka, ketikaTini, Tinah, dan Lastri menawarkan diri untuk merenovasi rumah, kalimat itu kuulang pada ketiga adikku. Dengan sisa tabungan dan sumbangan mereka, aku berharap bisa memenuhi permintaan Ibu.

Juli 2000

“Dunia begitu indah karena kami memiliki kakak seperti engkau. Terimakasih,

Mbak….” Kueja kalimat itu berulang. Sebuah cincin permata berlian menyertai kertas itu. Ah, aku lupa, hari ini aku berulang tahun. Aku memang selalu lupa dan tak pernah memikirkannya. Setitik air membasahi pipi, sudah berapa lama aku tidak menangis? Kucium kertas itu.Adik-adikku, dunia pun sangat indah karena aku memiliki kalian, juga Ibu.Terima kasih ya Alah.

Februari 2001

Garuda Indonesia, Boeing 737, Jamaah Haji Kloter 12 Pada Allah semua tujuan hidup bermuara. Tak pernah kubenci dan kusesali hidupku. Karena aku telah memandang semuanya dengan syukur dan karenanya sepahit apa pun kenyataan akan tetap terasa indah. Inna ma’al ‘usri yusro, sesungguhnya dibalikkesulitan itu ada kemudahan.

Allah akan memberi kemudahan itu pada setiap hambanya yang sabar. Sering aku tak percaya bisa melakukan semua ini, karena tugas itu nyaris usai. Allah Yang Maha Pemurah, telah memberiku kesempatan hidup lebih panjang dari yang divonis dokter. Gadis dengan cacat jantung bawaan seperti aku…… rasanya tak percaya. Allah, jika Engkau ijinkan, berilah hamba waktu lagi minimal untuk bisa berjumpa dengan Bapak, agar kebekuan ini mencair.

Untuk sebuah kata maaf yang belum pernah bisa kukeluarkan, karena aku, Tiwuk Hartati, pernah mempunyai doa yang sangat jelek untuknya. Biarlah maaf itu tumbuh seperti sejuta telaga kasih milik Ibu.

Awan putih menyembul di balik kaca, bar arak meniupkan simponi syahdu. Seolah aku sedang duduk di antaranya, membaca tanpa gerak bibir, bahasayang santun dan dewasa, mengantarku dalam kedalaman rasa tiada tara. Ibu memejamkan mata di seat sebelah, tenang dan damai. Oh Ibu, akhirnya penantianmu usai sudah. Lihatlah Bu, lihat awan itu. Ia akan mengantar kita ke suatu tempat yang paling Ibu dambakan.

Kuusap lembut jemari kisut dan kasar itu. Ibu…. Lelah guratan hidupmu, membayang pada raut wajah itu,tapi tak bisa mengurangi keagungan cinta milikmu. Kukecup lembut dan kubawatangan itu ke atas dada. Di bandara tadi, harta-hartamu mengantar kepergian kita dengan haru: Dokter Sutini, Dokter Sulastri, Insinyur Partinah, dan calon guru kita Sundari, juga suami-suami mereka dan keponakanku yang lucu-lucu: Hanif, Asfa, dan Abdus.

Tawamu jernih dan tulus ketika menciummereka satu per satu, mutiara hidupmu. Wajah damaimu Ibu, adalah bentuk kepasrahan seorang hamba dalam menjalani garis hidup Sang Pencipta, tanpa keluh dan putus asa.

Kepasrahan dalam ketegaran yang senantiasa yakin akanpertolongan Khaliknya. Kurasakan burung besi ini semakin meninggi, memecah udara, diiringi senyum hangat pramugari-pramugari anggun berbaju muslimahyang menawarkan makanan.

Kuambilkan satu untukmu, Ibu….

Garuda pun membelah angkasa menuju Bandara King Abdul Aziz, Jeddah.

Semakin jauh meninggalkan Jakarta, meninggalkan Kediri. Dan satu harapan

lagi, dengan izin-Mu akan terwujudkan. Allah Maha Besar

0 comments

Orang Orang Surga

Kami terusir lagi. Pemerintah lokal Evosmos sepakat menendang ribuan etnis kami dari daerah juridiksi. Banyak orang menangis. Ini tak ada habisnya. Bertahun-tahun. Berpuluh tahun. Lelah. Tak tahan. Kenapa harus kami yang diperlakukan begini?
“Sampai kapan Yunani akan membenci kita?”
“Ke mana kita harus pergi?”
“Apa salah kami, Pak? Apa salah kami?!”

Wajah penguasa tidak sudi berubah. Benci dan terasa makin bengis saja pada kami. Pertanyaan hati dijawab dengan tangan besi. Main hardik, main badik. Caci maki bermuntahan lebih tajam dari timah panas manapun; melukai hati, membunuh harga diri. Sudah lama seperti itu. Sebelum hari ini, beragam tindakan telah menyisir kami secara rasis. Kami tidak mendapat pelayanan kesehatan, pendidikan, bahkan hak untuk diperlakukan secara manusiawi. Semua itu tidak kami dapatkan. Tidak seperti orang-orang asli negeri ini. Etnis kami adalah etis komedi pahit. Lelucon yang sadis—sebab kami melawak dengan adegan terjatuh, tersungkur, kesakitan. Slapstick. European dark skin, orang bilang.

“Yah, kita sekarang mau pergi ke mana?”
“Ayah dengar sementara kita akan ditampung di lokasi bekas camp latihan militer, Nak.”
“Berapa lama?”
Ayahku tak menjawab. Hanya menatap nanap ke arah Ibu yang tertatih-tatih; berusaha terus berjalan dengan membawa perutnya yang melembung besar. Kendati sudah dipapah, kehamilannya sangat menguras energi. Apalagi—kata Ayah—kandungan Ibu sudah masuk hari-hari yang rawan. Kemungkinan besar akan segera melahirkan. Aku masih ingat: Ayah begitu mendung saat menceritakan hal itu.
***

Aku ingin menengok masa lampau yang masih tampak buram. Kejadian hari ini pastilah berhubungan dengan sejarah. Silam. Mendapatkan perlakuan diskriminatif di usiaku yang hijau, bukanlah hal yang wajar dan bisa kuterima tanpa terbersit dua tiga ribu pertanyaan. Tak lazim. Mau tak mau, enggan tidak enggan, bertanya jadi pilihan. Kewajiban yang dituntut benak dan nurani. Siapa dan ada apa?

“Ayah tak tahu pasti, Nak. Tapi… sedikit banyak Ayah tahu.”
“Berceritalah, Ayah. Aku ingin dengar.”
Ayah memijiti pergelangan kaki Ibu. Kami tengah beristirahat. Bersama ribuan etnis kami lainnya, malam ini makhluk-makhluk berjuluk dingin mengigiti kulit. Menyusup ke pori-pori dan mengerutkan serabut syaraf—hingga mengerdil atau mengigil aneh. Tak ada fasilitas apa-apa untuk membaringkan tubuh, apalagi tidur. Cuma tanah dan batu-batu. Kasur? Alas penghangat badan? Mustahil saat ini. Terlalu mahal atau terlalu mewah untuk nyawa-nyawa kami.

“Merebahlah, Nak. Kau pasti lelah, bukan?”

Aku mengangguk. Meratakan tulang belakang, agak ke kanan—persis di samping Ibu. Menatap langit yang disesaki awan-awan. Agak kelabu—menghalangi bintang menghiasi angkasa dari pandangan. Semoga tidak turun hujan. Kalau takdir berkata lain, besar peluang sebagian besar dari kami akan basah kuyup. Tak ada apa-apa di sini. Tenda-tenda yang berdiri tidak menjamin. Sudah penuh dengan berjejal jantung-jantung para orang. Lihat saja kami. Tak kebagian. Seolah ibu hamil dan satu orang bocah sepertiku terlalu banyak. Dalam keadaan terdesak atau tertekan, orang-orang akan menunjukan sikap asli mereka. Yang egois akan mau menang sendiri, yang rapuh akan menangis, yang tabah akan tetap beradab dan memancarkan pribadinya nan mengagumkan.

“Ayah pernah dengar, etnis kita berasal dari India, Nak. Tapi, tepatnya di mana, Ayah sangat kabur. Yang jelas, dari wilayah konfederasi Rajput.”

“Apa itu konfederasi, Ayah? Dan, di mana India itu?”

Ayah tertawa. Tak tahu, utasnya jujur. Beliau begitulah. Sosok yang melupakan bohong untuk sekian lama. Bila Ayah tak tahu jawaban dari sebuah masalah, maka beliau tak akan segan untuk berkata tidak tahu atau mengendikan bahu Begitupun sebaliknya. Aku ikut terkekeh—walah sedikit. Sekali lagi, ada getir yang tertoreh pelan di sana. Ini masalah pendidikan yang senjang. Tertutup bagi kami. Dari zaman Kakek, Ayah… aku. Mungkin lebih lama dari itu dan mungkin akan lebih lama lagi.

“Mau Ayah lanjutkan, Nak?”
“Ya, Ayah. Tentu saja.”
“Tapi, jangan banyak bertanya, ya?”
“Baiklah.”

Gaun bulan terus merangkak. Angin berembus seraya memainkan senandung rangkak. Lidah Ayah masih berujar cerita. Tentang pengembaraan yang harus ditempuh etnis kami ketika terjadi perang panjang, penjarahan, dan penghancuran berkali-kali oleh kekaisaran Ghaznavid. Etnis kami harus hengkang pada (sekitar) tahun 1192. Terpaksa. Terancam masuk siklus perbudakkan dan pembantaian menjadi kecemasan kolektif. Siapa yang mau? Rasanya tidak ada.

Di episode berikutnya, nasib lain berkata pada kami. Kami—yang tadinya pergi serempak bersama-sama—terpecah. Ada yang menuju selatan, tapi tidak sedikit yang menuju ke barat India. Ke utara juga ada. Bahkan menurut kabar yang beredar, mereka berhasil mencapai lembah Upper-Indus melewati Kashmir. Lagi-lagi, jadi pengungsi.

“Setidaknya kita aman dari kekejaman kekaisaran Ghaznavid ’kan, Yah?”

“Kata siapa? Etnis kita masih disergap perasaan waswas, Nak. Kita dirundung kekhawatiran karena tentara Ghaznavid terus melakukan pengejaran—mengancam keselamatan kita.”

“Lalu?”
“Kita harus menyingkir dan mengalah menuju Persia. Dari negeri Persia, kita lalu memasuki daerah kekaisaran Trebizond—yang masyarakatnya berbahasa Armenia.”

“Bermukim?”
“Iya, tapi…”
“Tidak lama, bukan? Persis seperti keadaan kita sekarang, kan?!” Aku menukas cepat. Ayah cuma tersenyum samar. Tak keberatan kalimatnya kupangkas sampai segitu. Tak lama, tangan kasar miliknya mengusap kepalaku lembut. Pelan.

“Bersabarlah, Nak. Bersabarlah….”
“Aku bisa bersabar kok, Yah. Tapi aku bingung dengan kondisi Ibu. Bingung dengan adik bayi yang mau lahir. Nanti bagaimana kalau kita diusir lagi dari sini? Keadaan Ibu kan masih lemah….”

Ayah terhenyak. Aku kira begitu. Sekejap air mukanya berubah gundah. Aku jadi merasa bersalah. Untuk selanjutnya kukatupkan saja mulut ini. Kukancingkan saja sampai nanti pagi. Sekiranya masih tersisa pertanyaan, keluhan atau kecemasan yang menyapa di sisa malam itu, aku menyimpannya di kantong baju lusuhku. Lebih baik tak kuungkapkan sekarang. Sudah saatnya aku juga merasa kasihan pada Ayah.
***
“Ayah, kita tidak berhenti di Trebizond, bukan?”
“Oh, iya. Semalam belum selesai, ya?”

Aku berusaha keras sunggingkan senyum. Di tengah kerumunan orang-orang yang terusir, berubah tempramental atau tertekan adalah hal yang biasa. Stres, sakit kepala, atau menjadi gila adalah resiko yang dijejalkan kepada kami setiap hari. Berdansa tango di sekeliling risiko. Hidup segan, mati pun tidak mau. Mengambang di antara dua garis yang tak jelas. Aku tak mau begitu. Ayah sepertinya juga tak mau. Beliau cukup tabah sehingga tak larut dalam pemikiran atau perenungan yang tak berujung.

“Tak lama,” Ayah mengajakku pergi agak menjauh dari Ibu yang tengah beristirahat, ”karena ada perang, kita kembali terpaksa pindah, Nak. Menyingkir ke kekaisaran Byzantium menjadi satu-satunya pilihan. Kita kemudian memang menuju Konstantinopel dan menetap di sana. Kalau sekarang, daerah itu sudah berganti nama menjadi Istanbul,” tutur Ayah sembari sesekali memandang ke arah Ibu. Ibu butuh banyak ketenangan. Untuk itulah Ayah merangkulku menjauh dari tenda untuk melanjutkan ceritanya. Semalam, syukurlah dua orang pemuda yang baik hati menawari Ibu untuk menempati tempatnya di dalam sebuah tenda. Nampaknya dunia ini belum kehilangan orang-orang yang berjiwa mulia sepenuhnya.

“Di sini, etnis kita belajar banyak hal, Nak. Salah satunya bahasa Yunani. Di sini pulalah sistem kasta dalam etnis kita lenyap, bersamaan dengan terjadinya pernikahan silang antar keluarga-keluarga luas yang meninggalkan India. Mmm… di daerah ini jugalah etnis kita mulai berbicara dalam bahasa proto-Romani,” ungkap Ayah terus menerus—seolah tak mau berhenti. Kata-katanya padat dan jarang diselingi spasi. Sepertinya pada bagian ini, Ayah cukup paham jalan sejarah. Aku berusaha keras agar tidak ketinggalan ceritanya. Sekalinya aku kehilangan alur cerita Ayah, aku mendengar suara berderit dari arah perut beliau. Ayah lapar. Seperti aku. Tapi, Ayah tak mau mengatakannya di depanku—pun mengakuinya terang-terangan; melenguh, mengeluh, atau mencibirkan keadaan yang serba minus. Dalam diam aku kagum. Mungkin begitulah aku seharusnya kelak; saat jadi laki-laki dewasa atau mengepalai sebuah keluarga. Tangguh demi tanggung jawabku sebab memang begitulah persamaannya. Dijadikan laki-laki lebih kuat bukan untuk merendahkan atau mengintimidasi wanita, tapi untuk mengayominya. Melindunginya. Semua sudah ada jalannya. Sudah ada kodratnya.

“Ngg…”
“Ada apa, Nak?”
“Sehabis itu, apakah kita diusir lagi, Yah?”

“Bukan diusir,” Ayah tersenyum kecut, ”tapi terusir. Perang terjadi lagi sehingga Byzantium hancur. Ambruk. Yaa, terpaksa kita harus menyingkir lagi sebab kondisi. Situasi tak memungkinkan untuk kita bertahan terus di sana, Nak. Selanjutnya, etnis kita menempuh perjalanan yang panjang ke kawasan Balkan. Tepatnya pada abad ke-13. Perlahan, kita pun menuju ke daerah Rumania. Dari sana, kita menyebar menjadi kelompok-kelompok kecil ke segala penjuru arah. Setiap kelompok punya pemimpin yang akan membimbing dan memutuskan: apakah mereka akan tetap tinggal atau tidak pada daerah yang mereka datangi….”

“Terus, Yah?”
Belum sempat Ayah membuka mulutnya, vibra Ibu berlemparan di udara. Pita suaranya bergetar lirih. Gendang telinga Ayah segera menangkap bunyi cemas itu—lalu tersentak. Aku juga. Kami berdua serempak menengok ke arah tenda Ibu. Hati ini berdegup kencang sekali. Bergegas kami memburu dan melarikan kaki-kaki. Langkah-langkah berkejaran. Ibu kelihatan pucat. Lemah. Pias. Dahinya berpeluh gara-gara menahan sakit yang amat. Beliau terus memegangi perutnya sambil memekik pelan.

”Kenapa, Safa?!”
”Perutku… perutku…”
Mata Ayah bersiborok dengan mataku. Saat itulah aku tahu: Ibu akan melahirkan. Astaga. Sekedip itulah rasa takut menggurita di segenap jiwaku. Aku mulai cemas dan semakin cemas pada jengkal-jengkal waktu berikutnya. Setumpuk hal mulai kupertanyakan; tak bisa kutaklukkan. Misalnya… siapa yang akan membantu persalinan Ibu di tengah camp pengungsian seperti ini?! Butuh keajaiban untuk menemukan seorang ahli medis sekarang. Pun mayoritas orang-orang dari etnis kami adalah orang-orang yang tidak mengenyam bangku sekolah. Sekali lagi, bukan tak mau, tapi tidak diperbolehkan. Etnis kami memang terlalu mudah dizalimi. Tidak seperti etnis Turki yang memiliki negara induk, kami tidak punya satu pun negara yang sudi melindungi kami. Yang mau berjuang membela kami—bila pemerintah pemimpin negeri ini memperlakukan etnis kami secara tak adil. Perlakuan buruk sekecil apa pun terhadap etnis Turki di Thrace Barat—umumnya mereka memang bermukim di sana—pasti akan memicu kemarahan Istanbul. Namun, pemerintah negeri mana yang mau marah untuk kami? Negara mana?!

Aku sempat sedikit tahu dari Kakek—satu minggu sebelum kematiannya yang sangat tenang—kalau etnis kami pernah mengidentifikasi diri sebagai orang Turki. Dulu, jauh sebelum hari, minggu, bulan, dan tahun ini. Usai perang Turki-Yunani pada tahun 1923. Ide itu terbetik karena dipicu oleh perjanjian Laussane—yang mengakhiri perang di antara kedua negara yang bersangkutan. Namun, Yunani—dalam hal ini—terlalu keras. Strategi itu gagal total. Pada akhirnya, pemerintah kembali pada sikapnya yang tak ramah; tak kunjung sudi mengakui kami sebagai warga negara.

“Aaaaakhhhh! Ukkkh…. uhhhh!”
“Bertahan, Safa! Bertahanlah!”
“Aku tak tahan lagi!!!”
“Adakah yang bisa membantu istriku melahirkan?! Ada tidaaak?!!” Ayah kalap. Lengkingannya menjulur ke seluruh penjuru lokasi pengungsian. Syukurlah ada ruh-ruh bertubuh yang segera terpanggil di antara orang-orang yang cuma termangu—tak tahu harus bagaimana menyikapi permintaan Ayah. Aku menahan nafas. Aku merasa jadi makhluk paling tak berguna. Hanya sanggup nanar melihat dari pintu tenda pemandangan itu; pemandangan di mana ibuku meregang nyawa untuk mengeluarkan adikku dari rahimnya. Orang-orang yang membantu persalinan menelan ludah getir. Pendarahan banyak sekali. Bahkan terlalu banyak. Tapi, dengan apa harus menghentikannya?

Mungkin, inilah pertama kali di pengungsian ini kami bersama-sama melupakan soal kemalangan yang mendera kami. Rasa lapar, homeless, atau terbuang. Soal-soal itu menguap dan bersenyawa dengan harapan-harapan langit yang menyergap kami; tak lagi punya sifat atau karakter yang sama. Hilang. Musnah. Nyawa seseorang tengah di ujung jurang. Ayah melantunkan doa-doa terhebat yang bisa beliau rangkai—seraya terus mengusap keringat yang menjentik di kening Ibu. Menyemangatinya. Aku gemetar. Ada seorang laki-laki yang menyuruhku keluar. Tak baik katanya. Aku bersikeras tinggal.

Dia tak bisa memaksa. Entah kenapa aku tak ingin pergi dari tempatku berpijak. Melihat ibuku meronta, berteriak-teriak—sampai kukira tenggorokannya telah terbagi dua, bersimbah darah, membuatku tak tahu harus bernyali seperti apa. Berani seperti apa.

Aku memejamkan mata. Aku yakin: malaikat maut tengah berkunjung ke tenda ini. Itulah sebabnya aku berdoa dengan khidmat. Aku berharap doaku mampu mengusir malaikat itu agar tak mengambil hidup ibuku. Mungkin lain kali, tapi bukan sekarang. Jangan sekarang….
***

Ayah hanya berdiri mematung. Dengan kedua tangannya yang kokoh, beliau menggendong adik baruku. Memandang senja yang mulai pentas di ufuk barat. Panas yang kandas dipudar malam. Sedari tadi hanya begitu saja. Matanya kosong. Bulir-bulir air asin memburai dari pelupuknya.

“Safaaa!”
Ayah berteriak. Aku menunduk dan tak kuasa menahan air mata yang merayap pelan dari dua pelupuk. Ibuku benar-benar telah pergi. Dijemput malaikat untuk bertemu Sang Maha Pengasih. Duka selaksa. Kesedihan meradang dalam jiwa. Meranggas bahagia yang sekiranya hadir untuk adik tercinta. Adik bayi yang mungil dan tak tahu apa-apa. Bukan salahnya Ibu pergi, pun bukan karena doa Ayah dan aku tidak dikabulkan. Ini sudah takdir. Kami, sebagai manusia, tak punya daya sekejap saja guna menyangkalnya.

Ayah terpekur terus. Aku memutuskan untuk menghampirinya. Bukan untuk berbicara padanya, tapi untuk mengarang paragraf bingung bersama-sama. Kematian Ibu membuatku bimbang. Gamang. Mengenai Ayah, aku dan adik bayi. Sehabis ini, bagaimana nasib kami? Ahh, adikku sayang, adikku malang. Jangankan dia yang belum mengerti apa itu kesulitan hidup, orang-orang dewasa dari etnis kami pun sering merasa tak sanggup menjalaninya lagi. Mungkin itu yang kini dialami Ayah. Beliau murung untuk banyak hal.

“Yah?”
“…”
“Ayah?”
“Apa, Nak?”
“Adik bayi sudah diazani belum?”
Ayah menggeleng. Hatiku perih. Apa sebaiknya adikku memang tak usah diazani? Ya, mungkin dia lebih baik tak usah jadi seorang muslim. Menjadi seorang muslim bagi makhluk sekecil itu—di tanah asing ini—mungkin hanya akan membuatnya menderita lebih dahsyat. Mati lebih cepat. Menyusul Ibu. Melepas nyawa. Kalaupun dia hidup, akulah orang pertama yang tidak tega. Sangat mungkin adikku akan mendapatkan masalah yang sama seperti kami sebelum dia beranjak dewasa atau mungkin sebelum dia mengerti kata kenapa. Dihina, dicemooh, dikucilkan. Tiada mendapat pendidikan yang layak, kesehatan, tempat tinggal, bahkan kebebasan menjalankan agamanya. Dicap macam-macam. Pemalas, penyelundup, mafia, dan segala macam nama yang berkaitan dengan dunia kebejatan. Entah untuk sejarah dan bukti yang apa. Main tuduh saja.

“Yah?”
“…”
“Ayah?”
Ayah masih menangis dalam sunyi. Ketika aku sudah memutuskan untuk berhenti memanggilnya, beliau dengan perlahan mengazani adikku. Mataku kembali berembun. Ayah sudah menentukan. Ayah sudah meniatkan. Adik baruku akan jadi seorang muslim, seperti kami. Beliau akan mengajarinya ketauhidan, kerasulan, dan Islam.

“Menjadi muslim memang berat, Nak. Ayah tahu itu, kamu tahu itu. Beriman dalam Islam bukan sekadar bicara beriman pada Allah dan rasul-Nya, pada malaikat-Nya, pada kitab suci dan hari kiamat, dan pada qada dan qadar-Nya. Ya, tidak sekadar itu, tapi juga mengimani resiko kejahatan yang selalu mengintai kita di depan. Itulah yang kita hadapi sebagai etnis Atsingani, golongan terusir dan beragama muslim. Ke manapun kita, maka akan ada selalu orang-orang kafir yang membenci kita. Namun… dengarlah: sebiadab apapun mereka, sekejam apapun mereka menekan kita, Islam harus tetap di dalam dada kita, Nak. Kapan kita mati itu tidak penting bagi seorang muslim. Yang penting adalah bagaimana cara kita mati; apakah kita mati dalam keadaan beriman atau tidak. Tenanglah…. kita akan baik-baik saja. Ayah, kau dan adik barumu. Kita mungkin tak punya rumah yang tetap di atas bumi ini, tapi semoga saja Allah sudi membangunkan kita sebuah rumah di surga nanti….”

Aku mengangguk untuk mengenyahkan kesalahanku. Ya, sesulit apapun hidup kami di masa depan, kami tetap dan harus tetap menjadi seorang muslim. Sampai di mana pun. Sampai kapan pun.

Sumber: http://www.ummigroup.co.id/annida