PPC Iklan Blogger Indonesia
2 comments

Hidup ini harus memilih

Setiap individu ini harus melakukan pilihan. Pilihan itulah yang nantinya akan mendasari seluruh proses kehidupannya. Tidak seorang muslim atau mukminpun yang dalam posisi tidak memilih.Ia harus menentukan pilihannya. Dan, atas pilihannya itulah, yang akan menentukan nasib manusia, kelak ketika ia sudah meninggalkan dunia yang fana ini.

Seperti kisah di bawah ini......

Seseorang menemukan kepompong seekor kupu-kupu. Suatu hari lubang kecil muncul orang itu duduk dan mengamati dalam beberapa jam ketikakupu-kupu itu berjuang memaksa dirinya melewati lubang kecil itu.Kemudian kupu-kupu itu berhenti membuat kemajuan. Kelihatannyakupu-kupu itu telah berusaha semampunya dan tidak bisa lebih jauh lagi.

Akhirnya orang tersebut memutuskan untuk membantunya, ia mengambil sebuah gunting dan memotong kekangan sisa dari kepompong itu. Kupu-kupuitu keluar dengan mudahnya namun kupu-kupu itu mempunyai tubuh yang gembung dan kecil serta sayap-sayapnya mengkerut.
.
Orang tersebut terus mengamatinya karena ia berharap pada suatu saat sayap-sayap itu akan mekar dan melebar sehingga akan mampu menopang tubuh kupu-kupu itu yang mungkin akan berkembang.

Namun semuanya tidak akan pernah terjadi karena kupu-kupu itu menghabiskan sisa hidupnya dengan merangkak dengan tubuh gembung dan sayap-sayap mengkerut. Kupu-kupu itu tidak pernah bisa terbang.
.
Yang tidak pernah bisa dimengerti dari kebaikan orang itu adalah bahwa kepompong yang menghambat dan perjuangan yang dibutuhkan kupu-kupu untuk melewati lubang kecil adalah jalan Allah memaksakan cairan dalam tubuh kupu-kupu itu sehingga masuk ke dalam sayap-sayapnya sedemikian rupa sehingga ia bisa terbang begitu ia memperoleh kebebasan dari kepompong tersebut.

Dari cerita itu bisa aku ketahui bahwa perjuangan adalah hal yang aku perlukan dalam hidup. Jika Allah membiarkan aku hidup tanpa hambatan, itu mungkin melumpuhkan aku. Aku mungkin tidak sekuat yang semestinya aku mampu. Aku mungkin tidak pernah dapat terbang untuk menuju impianku atau tujuan hidupku.

Ya Begitulah Kehidupan...... Hidup ini harus memilih.

Manusia akan mendapatkan ‘reward’ dan ‘funishment’ oleh Allah Azza Wa Jalla berdasarkan keputusan dalam menentukan pilihannya itu.

Kehidupan ini sudah memberikan pelajaran yang konkrit dan jelas, terutama bagi manusia, yang senantiasa mau berfikir, dan memikirkan, khususnya atas fenomena alam semesta. Seperti pergantian waktu.

Ada waktu siang yang terang, dan ada waktu malam yang gelap. Ada terang karena sinar matahari, dan ada gelap ketika matahari sirna oleh datangnya malam. Maka, ketika datangnya fajar di pagi hari itulah, yang dinamakan datangnya kehidupan.

Dan, selalu dimulai dengan mengingat Allah Ta’ala melalui takbir, tahlil dan tahmid. Manusia melangsungkan kehidupan dan beraktifitas, ketika ada sinar (cahaya), dan adanya sinar ini, alam menjadi terang. Manusia di malam yang gelap dapat melakukan berbagai aktifitas, tapi itu sifatnya sangat terbatas, dan tetap saja membutuhkan sinar cahaya.

Dalam kehidupan ini ada pilihan-pilihan. Ada al-haq dan al-bathil. Ada kafir ada mukmin. Ada amanah dan khianat. Ada sidiq ada kadzib (dusta). Ada halal dan haram. Ada baik ada buruk. Ada hisbullah dan hisbussyaithon.

Ada lagi sejumlah karakter di dalam kehidupan yang dapat diambil sebagai ibroh (pelajaran) bagi manusia. Ada kikir, tamak, dan orientasi hidupnya hanya berdasarkan syahwat, dan kenikmatan dunia. Tapi, ada jenis manusia tidak tamak, dan zuhud terhadap kehidupan dunia, serta bersikap hati-hati. Maka, manusia harus memilih diantara yang ada dalam kehidupan.

Allah Ta’la berfirman : “Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barangsiapa ingkar kepada Toghut, dan beriman kepada Allah, maka sungguh, di telah berpegang teguh tali yang sangat kuat yang tidak akan putus “ (Al-Baqarah) .

Jadi manusia diberi kebebasan oleh Allah Ta’ala untuk memilih sesuai dengan pemahaman atas realitas kehidupan ini, dan menentukan pilihannya sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Tapi, setiap pilihan akan mempunyai implikasi bagi kehidupannya. Tak ada pilihan yang sifatnya netral bagi manusia.

Ia harus menegaskan posisinya selama di dunia ini. Karena, ketika manusia sudah menentukan pilihan dan menetapkan posisinya, maka keputusannya menentukan pilihan itu akan menyebabkan manusia mendapatkan ‘jaza’ (balasan) di akhirat nanti. Lebih ekplisit lagi, bagi orang-orang yang dengan pilihan itu, menjadikan Allah itu sebagai tujuan hidupnya.

Seperti dikatakan oleh Allah Ta’ala : “Allah pelindung orang yang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindung nya adalah setan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan. Mereka adlah penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya” (Al-Baqarah) .

Jadi ayat itu, menunjukkan pada posisi masing-masing atas pilihan manusia, yang mukmin dan kafir,sekaligus, apa yang nantinya akan didapatkan atas pilihan yang mereka lakukan itu.

Seperti halnya, Nabiullah Ibrahim Alaihissalam, melakukan pilihan yang sangat fundamental dalam kehidupannya. Apakah ia tetap bersama para penyembah patung? Atau meninggalkan
para penyembah patung, dan hanya beribadah kepada Allah Ta’ala.

Nabiullah Ibrahim Alaihissalam, juga harus memilih bersama ayahnya (Azhar) yang masih menyembah patung, atau meninggalkan ayahnya. Ibrahim Alaihissalam memilih meninggalkan ayahnya yang mencintai patung, sebagi bentuk kemusyrikan, dan mendurhakai Allah Ta’ala. Patung tidak dapat meninggikan derajat manusia, dan tidak layak lagi mendapatkan peribadahan dari manusia.

Manusia harus meninggalkan ‘ilah-ilah’ (tuhan-tuhan) , dan hanya memiliih Allah Azza Wa Jalla, sebagai Tuhannya, dan meniadakan seluruh eksistensi ‘ilah-ilah’ yang akan menjadi padanan dari Allah Rabbul Alamin. Pengakuan la ilaha illa-llah, pasti akan membuat manusia memiliki posisi yang jelas bagi kehidupannya.

Bukan mengabdi kepada ‘ilah-ilah’ yang sesungguhnya sangatlah lemah, dan tidak memiliki kemampuan apa-apa bagi manusia. Maka, memilih dan hanya mengabdi kepada Allah Ta’ala itu, akhirnya dapat membebaskan manusia dari penghambaan manusia lainnya.

Manusia yang sudah memilih Allah Azza Wa Jalla itu, sebagai tujuan akhir kehidupannya, maka ia akan terbebas dari segala bentuk perbudakan, dan akan mendapatkan kebahagiaan, kebebasan dalam arti yang sungguhnya. Tidak lagi kehidupan mereka diekploitasi oleh ‘ilah-ilah’ yang menggunakan atribut duniawi, yang sangat tidak berarti.

Seharusnyalah orientasi kehidupan manusia itu, diarahkan untuk memilih kepada al-haq, bukan kepada al-bathil. Bukan memilih atribut-atribut yang menyesatkan dan menjerumuskan manusia ke dalam kehidupan yang celaka dan hina.

Jadi, kewajiban kita bukan memilih bikinan-bikinan manusia, yang nisbi, yang relative, yang terbatas oleh ruang dan waktu, dan penuh dengan kepalsuan, kekotoran, kebohongan, dan hanya berorientasi kepada hawa nafsu.

Manusia harus memilih segala kehidupan yang didasari oleh nilai-nilai Ilahiyah, yang dapat menyelamatkan hari depan umat manusia. Jangan pilihan yang kita lakukan justru membuat diri kita menjadi hina dihadapan Allah Azza Wa Jalla. Kita menginginkan kemuliaan disisi-Nya, kelak sesudah meninggalkan dunia yang fana ini.

Jadi, bagaimana dengan kita saat ini. Apakah membiarkan dakwah di SMAN 94 seperti ini atau ingin ada suatu perubahan. Hanya kitalah yang dapat menjawabnya.....
Wallahu ‘alam

Jadikanlah Sabar dan Shalat Sebagai Penolongmu. Dan Sesungguhnya Yang Demikian itu Sungguh Berat, Kecuali Bagi Orang-Orang yang Khusyu [ Al Baqarah : 45 ]

4 comments

Tak Semua Perbedaan Itu Merugikan

Perbedaan kadang tak ubahnya seperti aneka pepohonan di sebuah taman. Ada tanaman yang berwarna kuning, merah, hijau, dan putih. Keanekaragaman itu menjadikan taman begitu indah.
Sayangnya, hal seperti itu tidak sama dengan dunia nyata manusia.

Ada hal menarik pernah terjadi di masa Nabi Daud dan Sulaiman. Hubungan senior dan junior ini sesaat terlihat seperti renggang. Pasalnya, keduanya berselisih pendapat soal solusi sebuah kasus yang terjadi di lingkungannya.

Kasus itu memang tampak sederhana. Seorang pemilik ladang mengeluh tentang kerusakan ladangnya yang disebabkan sekawanan kambing milik orang lain. Sang pemilik ladang menuntut ganti rugi. Setelah dihitung-hitung, ternyata nilai kerusakan sama dengan harga kambing itu. Nabi Daud berpendapat bahwa kambing-kambing itu diberikan ke pemilik ladang sebagai ganti rugi.

Tapi, Nabi Sulaiman berpendapat lain: pemilik kambing harus menanam kembali dan merawat ladang yang rusak itu menjadi seperti sediakala. Dan selama perbaikan itu, kambing-kambing dipinjamkan ke pemilik ladang untuk dimanfaatkan: susu, bulu, dan lain-lainnya. Jika ladang sudah pulih seperti sediakala, kambing pun dikembalikan ke pemiliknya.

Ternyata, Allah swt. menyetujui pendapat Nabi Sulaiman. Firman Allah dalam surah Al-Anbiya ayat 78 hingga 79 :

Dan (ingatlah kisah) Daud dan Sulaiman di waktu keduanya memberikan keputusan mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing kepunyaan kaumnya. Dan adalah Kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu. Maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat); dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu….

Tanpa sedikit pun merasa rendah, sang senior seperti Nabi Daud a.s. menerima pendapat juniornya, Nabi Sulaiman a.s., dengan lapang dada. Karena memang pendapat Nabi Sulaimanlah yang lebih bijak.

Pelajaran mengelola perbedaan itu punya makna tersendiri. Perbedaan merupakan keniscayaan. Siapa pun kita, tak akan mampu memaksa lahirnya keseragaman. Karena secara sunnatullah, Allah swt. menciptakan alam dan isinya termasuk manusia dengan penuh keragaman.

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. 49: 13)


Masalahnya, bagaimana menyikapi perbedaan. Apakah perbedaan ditangkap dari sudut pandang positif. Atau malah negatif.
Dua sudut pandang ini punya timbangan sendiri-sendiri. Perbedaan jadi positif manakala terjadi pada tingkat teknis atau cara. Dalam Islam, itu biasa disebut khilafiyah. Atau perbedaan dalam soal fikih.

Imam Malik rahimahullah pernah menolak tawaran Khalifah Abu Ja’far Al-Mansur untuk menyeragamkan perbedaan seputar cara ibadah. Al-Mansur menawarkan agar semua orang berkiblat pada kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik. Beliau mengatakan :

“Jangan kamu lakukan wahai khalifah. Karena sesungguhnya umat telah banyak memperoleh fatwa, mendengar hadits, meriwayatkan hadits. Dan mereka telah menjadikannya sebagai panduan amal. Mengubah mareka dari kebiasaan itu sungguh sesuatu yang sulit. Maka, biarkanlah umat mengerjakan apa yang mereka pahami.”

Salafus-shalih menempatkan perbedaan pendapat ini sebagai salah satu bentuk rahmat Allah. Umar bin Abdul Azis mengatakan :

” Saya tidak suka jika para sahabat tidak berbeda pendapat. Sebab jika mereka berada dalam satu kata saja tentu akan menyulitkan umat Islam.
Merekalah para pemimpin yang menjadi teladan. Siapapun yang mengambil salah satu pendapat mereka tentulah sesuai dengan Sunnah.”

Rasulullah saw. pernah mengatakan :

“Jika seorang hakim berijtihad dan ijtihadnya benar maka memperoleh dua pahala, dan jika ijtihadnya salah ia memperoleh satu pahala.”

Perbedaan menjadi negatif ketika wilayahnya menyentuh hal yang prinsipil, keyakinan. Buat yang satu ini, perbedaan tidak boleh terjadi. Karena dasar hukumnya sudah sangat jelas.

Nilai negatif dalam perbedaan juga muncul ketika yang jadi masalah bukan objek masalahnya. Tapi ketidaksiapan orang-orang yang berbeda. Di antara ketidaksiapan itu ada pada soal pemahaman. Tidak sedikit orang yang menganggap diri berbeda dan bangga dengan perbedaan hanya karena ketidaktahuan. Imam Syafi’i cuma mau mengukur perbedaan jika yang berbeda itu orang yang punya pemahaman. Beliau mengatakan, “Saya tidak pernah berdiskusi dengan siapapun, kecuali saya berharap agar kebenaran akan keluar darinya.”

Ketidaksiapan kedua adala masalah ego. Biasanya penyakit ini hinggap pada sosok senior atau orang yang berkuasa. Ia cuma mengakui kebenaran itu hanya bersumber dari dirinya. Dan yang lainnya berarti salah.

Betapa anggunnya akhlak seorang Khalifah Umar bin Khaththab ketika di sebuah kesempatan seorang muslimah mengajukan protes. Sesaat setelah orang nomor satu di Madinah itu mengeluarkan kebijakan soal mahar, seorang muslimah mengatakan, betapa beraninya engkau ya Umar mengalahkan firman Allah dalam ayat ini dan itu.

Saat itu juga, tanpa sedikit pun memperlihatkan kekecewaan, Umar meralat kebijakannya. Ia mengatakan, “Wanita itu betul. Dan Umar salah!”

Jadi, perbedaan sangat bergantung pada bagaimana penyikapan diberikan. Perlu ketelitian dan kedewasaan diri agar perbedaan bisa benar-benar positif. Tak ubahnya seperti indahnya keanekaragaman bunga-bunga di sebuah taman.

Semoga kita dapat memahami apa sebenarnya makna perbedaan, yang pasti "Tak Semua Perbedaan itu Merugikan"

4 comments

Jangan Mudah Mengaku Sibuk

Jangan Mudah Mengaku Sibuk...
Untuk Saudara_ku.. .
“Maaf, saya terlambat memberi kabar. Ada kesibukan yang teramat nyata yang harus saya jalani di kampus. Sekali lagi.. maaf, saya baru sempat. “ kurang lebih SMS itulah yang kubaca dari salah seorang teman SMAku dulu. Kata-kata yang terangkai dalam SMS itu cukup membuatku geli. Kalimat itu cukup santun, esensi dari kalimat itu pun tak sekali ini aku mendengar ataupun membacanya. Bukan lagi dari 1 atau 2 orang, lebih bahkan…Hmm, dan mungkin aku pun pernah berucap seperti itu, seingatku lebih dari sekali juga..Ada hal yang menarik, cukup menginspirasi. Kalimat itu mengajakku merenung. Ya, aku sempat tak habis pikir.. pernah diri ini mengaku sibuk, padahal statusku masih mahasiswa. Tentu ucapanku ini belum bersesuaian. Bahkan aku menghakimi diri sendiri karena berucap itu. Kenapa? Karena dalam paradigmaku, kalau saat mahasiswa saja sudah berani mengaku sibuk, maka bagaimana jika sudah bekerja dan berumah tangga?Berbicara masalah berkeluarga, maka ada dua kosakata yang menjadi kunci, yaitu waktu dan tanggung jawab.
Kalau seseorang sudah berkeluarga, bertambahlah amanahnya. Bagi seorang laki-laki, ada amanah untuk menjemput rejeki, menjadi ayah bagi anak-anaknya, menjadi suami bagi isterinya, menjalani profesi pekerjaannya, menjadi anak bagi ayah ibunya, dan jika ia adalah sosok orang yang andil dan berpengaruh terhadap lingkungannya, maka amanah-amanah itu belum masuk hitungan. Ya, begitu pula dengan wanita.Sekali lagi, aku sampai tak habis pikir, masih berstatus mahasiswa saja sudah berani mengaku sibuk. Sekalipun bukan mahasiswa biasa, dalam arti tak hanya belajar akademik tapi juga non akademik. Tapi itu sungguh bukan alasan bagiku untuk mengaku sibuk.
Waktu ku sebagai mahasiswa dengan waktu mereka yang sudah berkeluarga, pun dengan waktu para pemimpin bangsa tetap sama. Sehari 24 jam. Padahal tanggungjawab mereka tentu melebihi diriku.Jangan mudah berkata sibuk. Karena Rasulullah tidak pernah mengajarkan kita seperti itu. Aku masih bisa membayangkan semulia apa sosok beliau. Dengan berbagai macam amanah dan tanggungjawab yang ada di pundak beliau, tetap, tetap peduli dan selalu melayani. Beliau, seorang pengelola bisnis yang diinvestasikan bunda Khadijah. Beliau lah enterpreneur dengan sifat nabawi:shiddiQ (jujur), amanah (capable), fathanah (smart) dan tabligh (informatif) . Beliau, seorang panglima perang, selama 10 tahun di Madinah ada sekitar 300-an detasemen yang beliau bentuk dan berangkatkan. Beliaulah pemimpin negara yang saat menjadi imam shalat, masih sempat bertanya “Di mana si Fulan? Mengapa ia tidak nampak? “.
Namun, tetap.beliau begitu tak lalai dalam mengemban amanahnya yang lain, sebagai suami, ayah, teman, dan tetangga. Dan, bandingkan dengan kita, sungguh.. belum seberapa.“Maaf, saya sibuk “. Ya, tiga kata yang bisa membuat jiwa-jiwa yang mengharap uluran tangan kita menjadi sungkan meminta bantuan kita. Tiga kata yang mampu membuat saudara yang semula ingin berbagi duka dengan kita, kini menjadi enggan karena khawatir makin menyita waktu kita. Inagtkah? Dalam tiap waktu kita, ada hak-hak saudara kita. Dan bisa jadi 3 kata itu menjadi alasan kita untuk lalai memenuhi hak mereka.
Tiga kata yang mungkin sering menjadi alasan untuk kita lupa melantunkan bait-bait doa untuk saudara-saudara kita.Pff, tidak baik jika aku mengeluh dengan mengaku sibuk dan tidak baik jika kepedulian ini merapuh dengan mengaku sibuk. Karena itu, jangan mudah mengaku sibuk, karena masih banyak sisi kehidupan yang belum terjamah. Masih banyak tantangan ummat yang belum terselesaikan. Kerena Islam membutuhkan kontribusi kita lebih besar. Ya, menjadi sebaik-baik hamba yang banyak memberi manfaat. Ya, Totalitas dalam peduli dan melayani.
Thanks and regards, (Sahabat_Mu)
sanjun.......

0 comments

Jalan Cinta Para Pejuang

Salman Al-Farisi memang sudah waktunya menikah. Seorang wanita Anshar yang dikenalnya sebagai wanita mukminah lagi shalihah juga telah mengambil tempat di hatinya. Tentu saja bukan sebagai kekasih. Tetapi sebagai sebuah pilihan dan pilahan yang dirasa tepat. Pilihan menurut akal sehat. Dan pilahan menurut perasaan yang halus, juga ruh yang suci.

Tapi bagaimana pun, ia merasa asing di sini. Madinah bukanlah tempat kelahirannya. Madinah bukanlah tempatnya tumbuh dewasa. Madinah memiliki adat, rasa bahasa, dan rupa-rupa yang belum begitu dikenalnya. Ia berfikir, melamar seorang gadis pribumi tentu menjadi sebuah urusan yang pelik bagi seorang pendatang. Harus ada seorang yang akrab dengan tradisi Madinah berbicara untuknya dalam khithbah. Maka disampaikannyalah gelegak hati itu kepada sahabat Anshar yang dipersaudarakan dengannya, Abud Darda’.

”Subhanallaah... wal hamdulillaah...”, girang Abud Darda’ mendengarnya. Mereka tersenyum bahagia dan berpelukan. Maka setelah persiapan dirasa cukup, beriringanlah kedua sahabat itu menuju sebuah rumah di penjuru tengah kota Madinah. Rumah dari seorang wanita yang shalihah lagi bertaqwa.

”Saya adalah Abud Darda’ dan ini adalah saudara saya Salman seorang Persia. Allah telah memuliakannya dengan Islam dan dia juga telah memuliakan Islam dengan amal dan jihadnya. Dia memiliki kedudukan yang utama di sisi Rasulullah Shallallaahu ’Alaihi Wa Sallam, sampai – sampai beliau menyebutnya sebagai ahli bait-nya. Saya datang untuk mewakili saudara saya ini melamar putri Anda untuk dipersuntingnya”, fasih Abud Darda’ bicara dalam logat Bani Najjar yang paling murni.

”Adalah kehormatan bagi kami”, ucap tuan rumah, ”Menerima Anda berdua, sahabat Rasulullah yang mulia. Dan adalah kehormatan bagi keluarga ini bermenantukan seorang sahabat Rasulullah yang utama. Akan tetapi hak jawab ini sepenuhnya saya serahkan pada puteri kami” Tuan rumah memberi isyarat ke arah hijab yang di belakangnya sang puteri menanti dengan segala debar hati.

”Maafkan kami atas keterusterangan ini”, kata suara lembut itu. Ternyata sang ibu yang bicara mewakili puterinya. ”Tetapi karena Anda berdua yang datang, maka dengan mengharap ridha Allah saya menjawab bahwa puteri kami menolak pinangan Salman. Namun jika Abud Darda’ kemudian juga memiliki urusan yang sama, maka puteri kami telah menyiapkan jawaban mengiyakan.”

Jelas sudah. Keterusterangan yang mengejutkan, ironis, sekaligus indah. Sang puteri lebih tertarik kepada pengantar daripada pelamarnya! Itu mengejutkan dan ironis. Tapi saya juga mengatakan indah karena satu alasan; reaksi Salman. Bayangkan sebuah perasaan, di mana cinta dan persaudaraan bergejolak berebut tempat dalam hati. Bayangkan sebentuk malu yang membuncah dan bertemu dengan gelombang kesadaran; bahwa dia memang belum punya hak apapun atas orang yang dicintainya. Mari kita dengar ia bicara.

”Allahu Akbar!”, seru Salman, ”Semua mahar dan nafkah yang kupersiapkan ini akan aku serahkan pada Abud Darda’, dan aku akan menjadi saksi pernikahan kalian!”
@@@

Cinta tak harus memiliki. Dan sejatinya kita memang tak pernah memiliki apapun dalam kehidupan ini. Salman mengajarkan kita untuk meraih kesadaran tinggi itu di tengah perasaan yang berkecamuk rumit; malu, kecewa, sedih, merasa salah memilih pengantar (untuk tidak mengatakan ’merasa dikhianati’), merasa berada di tempat yang keliru, di negeri yang salah, dan seterusnya. Ini tak mudah. Dan kita yang sering merasa memiliki orang yang kita cintai, mari belajar pada Salman. Tentang sebuah kesadaran yang kadang harus kita munculkan dalam situasi yang tak mudah.
Wa Allahu 'Alam Bis Showab