PPC Iklan Blogger Indonesia
0 comments

belajar dari ikrimah

Mengingat Ikrimah bin Abu Jahal adalah mengingat sosok sahabat nabi yang menjadi tauladan dalam beritsar. Ikrimah menjadi contoh kemuliaan pribadi yang mengutamakan kepentingan orang lain. Sejarah mencatat, di antara orang-orang yang termasuk dalam barisan Perang Yarmuk adalah Haris bin Hisyam, Ikrimah bin Abu Jahal dan Suhail bin Amar.

Di saat-saat kematian mereka, ada seorang sahabat yang memberinya air minum, akan tetapi mereka menolaknya. Setiap kali air itu akan diberikan kepada salah seorang dari mereka yang bertiga orang itu, maka masing-masing mereka berkata: “Berikan saja air itu kepada sahabat di sebelahku.” Demikianlah keadaan mereka seterusnya, sehingga akhirnya mereka bertiga menghembuskan nafas yang terakhir dalam keadaan belum sempat meminum air itu.

Dalam riwayat lain diceritakan, bahwa sebenarnya Ikrimah bermaksud untuk meminum air tersebut, akan tetapi pada waktu ia akan meminumnya, ia melihat ke arah Suhail dan Suhail pun melihat ke arahnya pula, maka Ikrimah berkata: “Berikanlah saja air minum ini kepadanya, barangkali ia lebih memerlukannya daripadaku.” Suhail pula melihat kepada Haris, begitu juga Haris melihat kepadanya.

Akhirnya Suhail berkata: “Berikanlah air minum ini kepada siapa saja, barangkali sahabat-sahabatku itu lebih memerlukannya daripadaku.” Begitulah keadaan mereka, sehingga air tersebut tidak seorangpun di antara mereka yang dapat meminumnya, sehingga ketiganya mati syahid.

Dari cerita Ikrimah tentang beritsar, saya teringat tentang ucapan seorang ulama yang mengatakan bahwa mengutamakan orang lain tidak perlu dengan melakukan hal-hal yang besar. Kita dapat melakukan hal-hal sederhana yang mungkin oleh orang lain dianggap remeh.

Di dalam angkutan kota misalnya, bantulah orang lain dengan duduk di tempat yang memudahkan orang untuk masuk. Jika tempat duduk yang lain masih kosong, sebaiknya tidak duduk di dekat pintu dengan alasan lebih gampang untuk turun, lebih segar karena terkena angin dari arah pintu atau alasan-alasan yang menyenangkan diri sendiri lainnya padahal hal tersebut justru menyulitkan orang lain yang akan masuk.

Begitu pula halnya jika kita menghadiri majelis taklim. Sering kita duduk di tempat-tempat yang justru menyulitkan orang lain yang akan masuk, di tangga atau di dekat pintu masuk misalnya. Padahal tidak terlalu sulit bagi kita untuk mengambil tempat duduk di tempat lain meskipun mungkin tidak senyaman di tangga atau di dekat pintu.

Satu contoh pengamalan konsep beritsar oleh masyarakat dapat ditemui di Jepang. Jika kita menaiki tangga berjalan, sebaiknya mengambil tempat di bahu kiri, karena bahu kanan biasanya digunakan oleh orang lain yang hendak bergegas menuju tempat lain. Contoh lainnya, pengendara mobil biasanya memberi kesempatan kepada pengendara sepeda untuk menyebrang, utamanya pada jalan-jalan yang tidak menggunakan lampu lalu lintas.

Mungkin contoh ini hanyalah contoh kecil, tapi memberikan kenyamanan yang tinggi pada masyarakatnya karena kepentingan orang lain terperhatikan. Masih berkaitan dengan itsar. Contoh yang lain dari Nasrudin Hoja. Meskipun cerita ini bukan sesuatu yang bisa dijadikan teladan.

Guru Nasrudin Hoja mengajarkan pada Nasrudin, bahwa salah satu ciri pribadi yang mulia adalah dengan mengutamakan kepentingan orang lain. Suatu hari, Nasrudin dan gurunya makan di sebuah warung makan. Pelayan kemudian menyajikan 2 buah piring berisi ikan, yang salah satu piringnya berisi ikan yang lebih besar dari ikan di piring lain.

Dengan tangkas Nasrudin mengambil ikan yang besar. Terkejut, gurunya berkata pada Nasrudin 'Bukankah sudah kuajarkan kepadamu bahwa pribadi yang mulia adalah mereka yang mengutamakan kepentingan orang lain?'. Nasrudin menjawab 'Benar Guru, dan saya bermaksud untuk memuliakan Guru.'

Mudah-mudahan yang kita teladani adalah sikap Ikrimah dalam beritsar, dan bukannya sikap Nasrudin Hoja. Waallahu’alam bishshowab.
sumber : eramuslim

0 comments

sensitif terhadap waktu

Menunda amal kebaikan karena menantikan kesempatan yang lebih baik adalah tanda kebodohan yang memengaruhi jiwa (Ibnu Atha'ilah).

Sesungguhnya waktu akan menghakimi orang yang menggunakannya. Saat kita menyia-nyiakan waktu, maka waktu akan menjadikan kita orang sia-sia.

Saat kita menganggap waktu tidak berharga, maka waktu akan menjadikan kita manusia tidak berharga. Demikian pula saat kita memuliakan waktu, maka waktu akan menjadikan kita orang mulia. Karena itu,kualitas seseorang terlihat dari cara ia memperlakukan waktu.

Allah SWT menegaskan bahwa orang rugi itu bukan orang yang kehilangan uang, jabatan atau penghargaan. Orang rugi itu adalah orang yang membuang-buang kesempatan untuk beriman, beramal dan saling nasihat-menasihati (QS Al Asher [103]: 1-3).

Menunda Amal

Ciri pertama orang merugi adalah gemar menunda-nunda berbuat kebaikan. Ibnu Athailah menyebutnya sebagai tanda kebodohan, "Menunda amal kebaikan karena menantikan kesempatan yang lebih baik adalah tanda kebodohan yang memengaruhi jiwa".

Mengapa Orang Suka Menunda-nunda?

Pertama, ia tertipu oleh dunia. Ia merasa ada hal lain yang jauh berharga dari yang semestinya dilakukan. " Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal. Demikian firman Allah dalam " (QS Al A'laa : 16-17).

Kedua, tertipu oleh kemalasan. Malas itu penyakit yang sangat berbahaya. Orang malas tidak akan pernah meraih kemuliaan di dunia dan akhirat. Tidak ada obat paling manjur mengobati kemalasan, selain mendobraknya dengan beramal.

Ketiga, lemah niat dan tekad, sehingga tidak bersungguh-sungguh dalam beramal. Salah satunya dengan terus menunda. Seorang pujangga bersyair, Janganlah menunda sampai besok, apa yang dapat engkau kerjakan hari ini. Juga, Waktu itu sangat berharga, maka jangan engkau habiskan kecuali untuk sesuatu yang tidak berharga.

Tidak Sensitif Terhadap Waktu

Ciri kedua, tidak sensitif terhadap waktu. Islam memerintahkan kita untuk sensitif terhadap waktu. Dalam sehari semalam tak kurang lima kali kita diwajibkan shalat. Sehari semalam, lima kali Allah SWT mengingatkan kita akan waktu. Shalat pun akan bertambah keutamaannya bila dilakukan di masjid, berjamaah dan tepat waktu. Karena itu, orang-orang yang mendirikan shalat, pasti memiliki manajemen waktu
yang baik.

Sesungguhnya, kita hanya akan perhatian terhadap sesuatu yang kita anggap penting. Demikian pula dengan waktu. Jika kita menganggap waktu sebagai modal terpenting, maka kita akan sangat sensitif dan perhatian terhadapnya. Kita tidak akan rela sedetik pun waktu berlalu sia-sia. Orang yang perhatian terhadap waktu terlihat dari
intensitasnya melihat jam.
- Ia sangat sering melihat jam
- Ia begitu perhitungan
sehingga kerjanya efektif dan cenderung berprestasi.

Penelitian menunjukkan semakin seseorang perhatian dengan waktu, semakin berarti dan efektif hidupnya. Ia pun lebih berpeluang meraih kesuksesan.

Orang sukses itu tidak sekadar punya kecepatan, namun ia punya percepatan. Kecepatan itu bersifat konstan atau tetap, sedangkan percepatan itu menunjukkan perubahan persatuan waktu. Artinya, orang sukses itu senantiasa melakukan perbaikan. Hari ini harus lebih baik dari hari kemarin. Hal ini senada dengan sabda Rasulullah SAW bahwa
orang beruntung itu hari ini selalu lebih baik dari kemarin.

Lain halnya dengan orang konstan; hari ini sama dengan kemarin. Rasul menyebutnya orang rugi. Sedangkan orang yang hari ini lebih buruk dari kemarin disebut orang celaka.

Saudaraku, orang yang memiliki percepatan, hubungan antara prestasi dengan waktu hidupnya menunjukkan kurva L. Dalam waktu yang minimal, ia mendapatkan prestasi maksimal. Itulah Rasulullah SAW. Walau usianya hanya 63 tahun, namun beliau memiliki prestasi yang abadi. Demikian pula para sahabat dan orang-orang besar lainnya. Semuanya berawal dari adanya sensitivitas terhadap waktu. (KH. Abdullah Gymnastiar)

Semoga menjadi evaluasi untuk kita semua, bahwa sensitifitas terhadap waktu sangatlah dibutuhkan.

0 comments

Kesabaran Modal Kesetiaan dan Pengorbanan

Kader da’wah sangat menyakini bahwa kesabaran yang ada pada dirinya yang membuat mereka kuat menghadapi berbagai tantangan dawah. Bila dibandingkan apa yang kita lakukan serta yang kita dapatkan sebagai resiko perjuangan di hari ini dengan keadaan orang-orang tendahulu dalam penjalanan da’wah ini belumlah seberapa.

Pengorbanan kita di hari ini masih sebatas pengorbanan waktu untuk da’wah. Pengorbanan tenaga dalam amal untuk kepentingan da’wah. Pengorbanan sebagian kecil dari harta kita yang banyak. Dan bentuk pengorbanan lainnya yang telah kita lakukan. Coba lihatlah pengorbanan onang-orang terdahulu, ada yang disisir dengan sisir besi, ada yang digergaji, ada yang diikat dengan empat ekor kuda yang berlawanan arah lalu kuda itu dipukul untuk Iari sekencang-kencang hingga robeklah orang itu. Ada pula yang dibakar dengan tungku yang berisi minyak panas. Mereka dapat menerima resiko karena kesabaran yang ada pada dirinya.

Kesabaran sebagai kuda-kuda pertahanan orang-orang beriman dalam meniti perjalanan ini. Bekal kesabaran mereka tidak pernah berkurang sedikit pun karena keikhlasan dan kesetiaan mereka pada Allah SWT

“Dan berapa banyak nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dan pengikut (nya) yang bertaqwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar.” (Q.S Ali lmran : 146)

BiIa kita memandang kehidupan generasi pilihan, kita akan temukan kisah-kisah brilian yang telah menyuburkan da’wah ini. Muncullah pertanyaan besar yang harus kita tunjukan pada diri kita saat ini. Apakah kita dapat menyemai da’wah ini menjadi subur dengan perjuangan yang telah kita lakukan sekarang ini ataukah kita akan menjadi genenasi yang hilang dalam sejarah da’wah ini ? Ingat, dawah ini tidak akan pernah dapat dipikul oleh orang-orang yang manja. Militansi kader merupakan kendaraan yang akan menghantarkan kepada kesuksesan dawah ini.

Seseorang disebut pahlawan karena timbangan kebaikannya jauh mengalahkan timbangan keburukannya, karena kekuatannya mengalahkan sisi kelemahannya. Tapi kebaikan dan kekuatan itu bukanlah untuk dirinya sendiri, melainkan merupakan rangkaian amal yang menjadi jasanya bagi kehidupan masyarakat manusia.Rasulullah saw berkata:

"Sebaik-baik manusia adalah manusia yang paling bermanfaat bagi manusia yang lain."
Demikian kita menobatkan seseorang menjadi pahlawan karena ada begitu banyak hal yang telah ia berikan kepada masyarakat. Maka takdir seorang pahlawan adalah bahwa ia tidak pernah hidup dan berpikir dalam lingkup dirinya sendiri. Pengorbananlah yang memberi arti dan fungsi kepahlawanan bagi sifat-sifat pertanggunjawaban, keberanian, dan kesabaran. Begitulah, kemudian menjadi benar apa yang dikatakan oleh Sayyid Qutb: "Orang yang hidup bagi dirinya sendiri akan hidup sebagai orang kerdil dan mati sebagai orang kerdil. Tapi orang yang hidup bagi orang lain akan hidup sebagai orang besar dan mati sebagai orang besar."

Syakib Arselan, pemikir Muslim asal Syiria, yang menulis buku Mengapa Kaum Muslimin Mundur dan Orang Barat Maju menjelaskan jawabannya dalam kalimat yang sederhana, "Karena," kata Syakib Arselan, "orang-orang Barat lebih banyak berkorban daripada kaum Muslimin. Mereka memberi lebih banyak demi agama mereka ketimbang apa yang diberikan kaum Muslimin bagi agamanya." Sekarang mengertilah kita, "Apakah yang dibutuhkan untuk menegakkan agama ini dalam realitas kehidupan?" Yaitu, hadirnya para pahlawan sejati yang tidak lagi hidup bagi dirinya sendiri, tapi hidup bagi orang lain dan agamanya serta mau mengorbankan semua yang ia miliki bagi agamanya itu.

" Wahai Saudara-Ku, mari luruskan kembali niatan kita. Jangan mengistinbathkan makna pahlawan hanya seperti yang ada di kamus besar atau peraturan presiden saja. Popularitas di dunia hanya akan semakin menjauhkan kita dari-Nya. Biarlah hanya Allah dan Rasul, beserta orang-orang beriman yang menilai hasil karya kita. Atau semuanya hanya akan sia-sia "
Wallahu a’lam bishowab