PPC Iklan Blogger Indonesia
0 comments

nilai istiqomah


"Bersikaplah istiqamah, namun kalian tidak akan dapat menghitung nilai istiqamah. Ketahuilah, bahwa amalan kalian yang terbaik adalah shalat. Yang dapat memelihara wudhu hanyalah orang beriman" (HR Ahmad dan Ibnu Majah).

Hadits ini mengungkapkan betapa beratnya bersikap istiqamah, sehingga manusia tidak akan mampu melakukannya dengan sempurna. Tak mengherankan memang, karena keimanan setiap Mukmin "terkena" hukum yaziidu wa yanqus, akan bertambah dan berkurang; naik dan turun. Boleh jadi, ada saat-saat iman kita sedang naik, sehingga bersemangat dalam ibadah. Tapi, ketika iman sedang menurun, semangat beribadah pun menjadi lemah.

Dalam Islam, penurunan semangat beribadah ini disebut futur. Pada stadium rendah, futur bisa muncul berupa perasaan malas beribadah, melambat-lambatkan berbuat baik, atau kurang peka terhadap peluang amal. Dalam stadium tinggi (kronis), kondisi futur menyebabkan seseorang berhenti beribadah, melakukan dosa besar, hingga akhirnya jauh dari Allah SWT.

Walau kemungkinan terkena futur sangat besar, tapi kita dianjurkan untuk tetap berlaku istiqamah dalam kebenaran sesuai kemampuan diri. Allah SWT telah menyediakan perangkat-perangkat dalam diri sehingga kita mampu mengikuti Rasulullah SAW, dengan standar dan kemampuan kita. Kalau tidak bisa semuanya, maka sebagian harus kita perjuangkan. Contoh, Rasul bisa qiyamullail semalam suntuk sampai kakinya bengkak; bila kita tak mampu seperti itu, minimal kita tidak sampai meninggalkannya.
PPC Iklan Blogger Indonesia
Secara bahasa, istiqamah berarti tegak dan lurus. Ada pula yang mengatakan bahwa istiqamah berarti "jalan yang lurus" atau "jalan yang berada dalam satu garis lurus". Dari definisi ini terlihat adanya hubungan antara istiqamah dengan kebenaran. Al-Qur'an menyebutnya dengan shiratal mustaqim atau jalan yang lurus. Tunjukkilah kami ke jalan yang lurus (QS. Al-Fatihah : 6).

Hal ini diperkuat oleh pendapat Ar-Raghib yang menyatakan bahwa seseorang disebut istiqamah bila ia tetap berada di jalan yang lurus. Itulah arti firman Allah SWT, "Sesungguhnya orang-orang yang berkata "Tuhan kami ialah Allah", kemudian mereka tetap lurus (istiqamah) dalam keimanannya. " (QS. Fushilat : 30).


Secara umum, sikap istiqamah menyangkut tiga hal, yaitu istiqamah dengan lisan, istiqamah dengan hati, dan istiqamah dengan jiwa. Istiqamah dengan lisan artinya kita bertahan untuk tidak mengucapkan hal-hal yang tidak bermanfaat serta dosa, dan menyibukkan diri dengan perkataan yang baik dan benar. Rasul SAW bersabda, "Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam." (HR. Bukhari dan Muslim).

Istiqamah dengan hati maksudnya selalu melakukan tajdid an-niyat, memperbaharui niat. Seseorang yang hatinya istiqamah tidak pernah melakukan suatu amal, kecuali ia meniatkannya hanya untuk Allah. Hal ini sesuai dengan pendapat Utsman bin Affan RA bahwa istiqamah adalah keikhlasan. Sedangkan istiqamah dengan jiwa mengandung arti ketetapan diri untuk terus menerus melakukan ibadah dan ketaatan pada Allah.

Walau tampak terpisah, ketiganya berhubungan antara satu sama lain. Disabdakan oleh Rasul SAW dari Anas bin Malik, "Belum dinamakan lurus keimanan seseorang, sehingga lurus pula hatinya; dan belum dinamakan lurus hatinya, sehingga lurus pula lisannya." (HR. Ahmad).
-->
Karena itu, seseorang bisa dikatakan istiqamah dalam hidupnya bila ia senantiasa lurus dalam hidupnya, konsisten, taat asas, pantang menyerah, dan selalu mengambil sikap pertengahan dalam segala hal; dalam wujud ucapan maupun perbuatan.(kotasantri.com)


begitulah betapa pentingnya nilai istiqomah dalam aktivitas amal ini, hal ini seharusnya menguatkan semangat kita untuk selalu menjaga niat istiqomah kita. Baik dalam kondisi iman yang kita yang kuat, sedang, bahkan dalam keadaan lemah-pun, keistiqomahan harus tetap kita jaga. Semoga Allah menerima dan menguatkan aktivitas dakwah kita ini. Wallahu a'lam bish-shawab

.

0 comments

tiada hari tanpa militansi


Militansi? Mungkin banyak orang yang merasa gerah atau takut mendengar kata yang satu ini.
Kata militansi memang Iebih sering dipandang negatif oleh masyarakat, apalagi pada hari ini, ketika “perang terhadap terorisme” sedang Iantang-lantangnya digaungkan oleh Amerika Serikat.. Orang seringkali mengaitkan kata ini dengan “kekerasan”“senjata, “ketidakramahan”, atau “intoleransi”.

Lebih lagi ketika kata ini disandingkan dengan kata Islam, “Islam miIitan’.yang tergambar mungkin sekelompok pemuda berjanggut lebat sedang mengangkat senjata atau bersiap-siap rnelakukan aksi “bunuh diri”. Apakah militansi harus selalu harus diartikan seperti itu?

Bagi seorang muslim yang baik, apalagi bagi seorang aktivis da’wah, militansi mutlak diperlukan. Dan karena hal ini merupakan bagian penting dari keislaman seseorang, kita tentu tidak bisa memaknainya kecuali menurut apa yang dikehendaki oleh Islam itu sendiri.

Islam jelas merupakan agama rahmat. tapi untuk menjamin terwujudnya rahmat di muka bumi tentu dibutuhkan perjuangan serta upaya yang optimal. Islam merupakan agama yang adil, tapi agar keadilan terwujud diperlukan komitmen yang sangat kuat. Islam sudah barang tentu merupakan agama yang mndah, tapi keindahan sejati tidak akan pernah tertampakkan tanpa adanya keseriusan dan kesungguh-sungguhan dari para ‘pelukisnya’.

Di sinilah arti pentingnya militansi bagi seorang muslim. Militansi yang kita maksud di sini adalah jiddiyah (kesungguhan), hamasah (semangat), shawabit (disiplin), komitmen, dan istiqamah. Kalau begitu, tentu saja tidak ada masalah dengan militansi, karena itu memang diperintahkan oleh Islam sekaligus dibutuhkan untuk menegakkan nilai-nilainya di muka bumi. Tanpa militansi, nilai-nilai kebenaran, kebaikan, rahmat, keadilan, serta keindahan sejati tidak mungkln terwujud dengan baik.


Militansi yang harus tumbuh pada diri setlap aktivis da’wah adalah seperti militansi yang pernah dicontohkan oleh Nabi SAW dan para sahabatnya. Militansi Nabi SAW dan para sahabat adalah militansi yang seimbang dan pertengahan. Ia bisa berbentuk ketegasan terhadap musuh, tapi lembut terhadap saudara seiman. Ia adalah ketegasan sikap yang tidak mengabaikan akhlak yang mulia.

Ia adalah teguran yang keras untuk meluruskan kesalahan, sebagaimana Nabi SAW menegur sahabatnya ketika khilaf, menyakiti perasaan saudaranya. Namun, ia juga merupakan kecintaan yang mendalam serta perbuatan yang menyenangkan, sebagaimana Nabi SAW bendiri ketika jenazah seorang Yahudi sedang diusung. Jadi seorang muslim yang militant berkomitmen pada Islam dan mengetahui bagaimana la haus bersikap dan berbuat sesuai dengan tuntunan Islam.

Militansi menuntut totalitas dalam penerimaan dan pelaksanaan seluruh nilai-nilai serta amaliah Islam. Ini seperti Umar bin Khattab yang memusuhi Nabi sangat pada masa pra-keimanan, kemudian membela Nabi sangat setelah berjumpa hidayah. Militansi menuntut kesungguhan dalam berjuang, seperti seorang sahabat yang membuang kurma-kurmanya di Perang Badar karena tak sabar menanti syahid.


Militansi memungkinkan munculnya visi yang sangat kuat, seperti Anas bin Nadzar yang sudah mencium wangi surga ketika menginjakkan kakinya di peperangan Uhud, atau seperti para sahabat yang “melihat” surga dan neraka ketika tengah duduk di majelisnya Rasulullah SAW. Militansi akan melahirkan motivasi nan tinggi, seperti Amr bin Jamuh yang tetap ngotot pergi ke medan jihad dengan satu kakinya yang pincang.

Militansi mengharuskan adanya konsistensi, seperti jihadnya Abu Ayub yang tidak kenal Ielah kendati sudah tua usia, atau seperti amal seorang guru Imam Hanafi yang meninggal dunia tatkala shalat. Militansi mewajibkan kesabaran, seperti sabarnya Ayub AS menanggung sakit, atau sabarnya Nuh AS benda’wah ratusan tahun.

Militansi menggambarkan semangat, seperti semangat para tabi’in yang merantau ke beberapa negeri hanya untuk mencari sebuah hadits, atau seperti semangat belajar Imam Thabrani dan Al-Biruni yang masih berdiskusi agama beberapa detik sebelum meninggalnya.

Militansi berasal dan keyakian yang dalam, seperti keyakinan Abu Bakar setiap saat pada “sahabatnya” tanpa perlu pembuktian rasional apa pun, atau seperti Abu Dzar yang meyakini janji Nabi tentang dirinya tanpa perlu membuktikannya secara langsung.

Militansi juga berarti keberanian, seperti keberanian lbnu Mas’ud membaca Al-Qur’an didepan musyrikin Quraisy hingga dipukul babak belur, atau seperti Hudzaifah yang seketika berdiri untuk mengintai musuh di malam yang gelap tatkala Nabi berkata “untuk diam di tempatnya ”. Militansi juga bermakna ketundukan dan kepasrahan pada Allah seperti ibadahnya Abu Darda yang nyaris melupakan hak-hak diri dan keluarganya, atau seperti infaqnya Abu Bakar dan Abdurnahman bin Auf yang nyaris mengabaikan kebutuhan diri dan keluarganya.

Militansi bermakna kecintaan yang mendalam pada Nabi SAW seperti Bilal yang tak sanggup melantunkan adzan setelah wafatnya Nabi, atau seperti Ibnu Umar yang berharap tapak-tapak untanya mengenai bekas-bekas tapak unta Nabi dalam setiap penjalanannya.

Dan akhirnya, militansi adalah istiqamah di jalan-Nya, sebagaimana istiqamahnya AIi, Salman, dan seluruh sahabat lainnya, yang tak pernah bisa digoda dunia hingga akhir hayatnya. " Wa laa tamuutunna ilIa wa antum muslimuun ", dan janganlah kamu mati melainkan dalam keadaan muslim’.


Seperti itulah makna militansi bagi seorang muslim/muslimah sejati, dan terutama bagi seorang aktivis da’wah. Karena itu, ia seharusnya dipegang teguh setiap saat. Ia harus menjadi slogan abadi yang terus mengawal dan mengiringi perjalanan hidup seorang aktivis da’wah. Tiada hari tanpa militansi??????


Sumber: Majalah SAKSI
catatan: ternyata makna militansi cukup luas, nggak sekedar semangat (hamasah) saja tetapi juga jiddiyah (kesungguhan), hamasah (semangat), shawabit (disiplin), komitmen, kesabaran, keberanian, tawakal dan istiqamah