AKHWAT FUTUR, SIAPA YANG BERTANGGUNG JAWAB ?
Oleh : Atik
Banyak sudah telah kita dengar, akhwat yang futur karena kecewa dengan Murobbiyahnya/ Ustadzahnya. Atau adik-adik tingkat yang akhirnya tidak mau lagi ngaji karena kecewa dengan kakak tingkatnya yang sebelumnya dikaguminya. Kelihatannya amat naif..tapi itulah yang terjadi.
Tetapi sebaliknya, banyak juga yang kita jumpai seorang akhwat yang melejit karier dakwahnya, karena kekagumannya kepada Murobbiyahnya atau kakak tingkatnya yang telah lama berkecimpung di dalam jama’ah.
Dulu, (semoga sekarang tidak lagi..) Saya termasuk akhwat yang mudah terpengaruh oleh pribadi-pribadi di luar diri saya. Dalam waktu singkat bisa membuat saya begitu apresiatif dengan amanah da’wah. Tapi juga bisa membuat saya mati langkah karena kecewa dengan figur senior yang telah terlanjur bagus di benak saya.
Masih sangat lekat dalam ingatan..beberapa kejadian yang kemudian menjadi penguat di kemudian hari. Saat itu kami mengadakan baksos. Kepanitiaan banyak melibatkan akhwat juga ummahat.
Juga, suatu saat, Yayasan kami mengadakan Baksos di luar
Dari diskusi beberapa kali dengan adik-adik…ternyata ada sebuah semangat untuk tetap istiqomah di jalan ini, atau untuk tetap semangat mengemban amanah dakwah karena faktor teladan. Faktor ingatan akan seseorang yang pernah dikenangnya. Dan akhirnya pada kesimpulan bahwa alangkah pentingnya faktor teladan ini. Memang hal seperti ini rentan sekali…tetapi pada kenyataannya banyak yang seperti itu.
Sebuah kata, seberapa pun bagus seseorang beretorika, pengaruhnya tidak akan lama kalau kemudian pribadi yang menyampaikan ternyata amat jauh dari apa yang pernah di sampaikannya. Begitu orang menemukan ‘cela ‘ atas diri seseorang biasanya apa yang di sampaikan di lain waktu tidak akan terlalu diperhatikan lagi. Walaupun hal yang di sampaikan itu adalah suatu kebenaran. Tanpa kekuatan ruhiyah, perkatakan itu tidak akan sampai pada hati orang yang mendengarnya.
Dari pengalaman-pengalaman itu…saya mengambil kesimpulan bahwa keteladanan adalah sebuah tuntutan. Harus disadari bahwa setiap diri adalah wajib untuk menjadikan dirinya sebagai model. Tidak untuk menghilangkan keikhlasan atau yang lainnya tetapi itu adalah kewajiban yang secara otomatis melekat di setiap pundak seorang muslim/muslimah.
Muslimah yang telah bekerja harus membebani dirinya untuk tetap seperti semula. Tetap aktif sebagaimana dulu sewaktu masih kuliah atau ketika masih mempunyai banyak waktu luang. Walaupun aktivitasnya dalam bentuk yang berbeda, tetapi ketika dia mampu menunjukkan bahwa kariernya tidak menghalangi dia untuk tetap berkiprah, ternyata itu mampu memberikan energi bagi juniornya ketika nantinya berkarier juga ia akan bercita-cita seperti seniornya tersebut.
Begitu juga akhwat-akhwat yang mampu tetap eksis kiprahnya setelah memasuki dunia rumah tangga. Ternyata mereka-mereka itu sering jadi rujukan akhwat-akhwat yang masih lajang. Paling tidak, mampu memberikan gambaran bahwa rumah tangga bukanlah suatu halangan untuk tetap eksis dalam dakwah. Juga ummahat yang kemudian sibuk dengan anak-anaknya. Beliau- beliau yang aktif itu mampu memberikan energi bagi adik-adiknya.
Mata rantai itu ternyata berlanjut, tidak terputus. Seorang ustadz atau ustadzah bertanggungjawab atas keteladanan terhadap mad’unya atau obyek da’wahnya. Seorang ummahat bertanggungjawab keteladanan bagi junior-juniornya. Bagi yang sudah punya jundi banyak akan menjadi rujukan bagi ummahat yang masih baru nikahnya. Bagi yang sudah terjun langsung ke dalam masyarakat tentu akan di lihat adik-adik yang masih di lingkungan ideal (sekolah dan kampus ) sebagai rujukan.
Rantai keteladanan itu bersambung secara alami. Maka kewajiban memaksa setiap diri untuk istiqomah dengan nilai-nilai yang telah di peroleh dari tarbiyah adalah sebuah keniscayaan. Bahkan bagi seseorang yang berada di level bawah macam kita-kita ini..kewajiban menjadikan diri sosok model itu adalah kewajiban.
Setiap muslim/muslimah harus memaksakan dirinya untuk menunjukkan bahwa dirinya adalah sosok yang bisa dilihat. Ini lho…orang yang telah tertarbiyah itu. Begini lho akhlaknya orang yang telah mengenal Islam secara lebih mendalam. Dan yang paling pasti…begini lho orang islam itu…
Dengan kesadaran diri bahwa kewajiban menjadikan diri sebagai sosok teladan..di harapkan kefuturan karena faktor figuritas yang terjadi di manapun akan banyak terkurangi. Tidak ada lagi uangkapan keheranan sekaligus kekecewaan bahwa ternyata teori yang ada tenyata tidak mampu membentuk pribadi yang nyata.
Kita semua menyadari bahwa Islam adalah agama yang sempurna. Disetiap sisi kehidupan manusia, Islam telah menetapkan aturannya. Yang menjadi PR kita sekarang adalah seperti apa sih manusia Muslim itu ?
Sedih
Maka tak bisa dipungkiri…bahwa keistiqomahan kita dengan nilai-nilai islam yang telah kita perolah bukan hanya masalah diri pribadi kita semata. Yang berujung pada masuk surga atau neraka, tetapi berpengaruh pada pribadi di luar kita, tentu sesuai dengan kapasitas kita sebagai apa. Dan lebih celaka lagi..kalau kemudian keteladanan itu membawa imbas akan nama Islam itu sendiri, agama yang kita yakini kesempurnaannya. Beragama Islam…tapi kok…bukan lagi…Pakai jilbab/ jenggotan tapi kok… Dah ngaji…tapi kok…Nah lho…Wallahualam bishowab !
0 comments:
Posting Komentar