PPC Iklan Blogger Indonesia

pengalaman

Minggu, 16 Maret 2008

Wawancara

Sehari Bersama Ketua MPR Hidayat Nur Wahid

Memimpin Minus Pengawal

Ia menyemir sepatu sendiri.

Ia memulai hari dengan bersujud. Bersarung cokelat kotak-kotak, baju koko
putih, dan peci hitam, Hidayat Nur Wahid, 48 tahun, ditemani putra
bungsunya, Hubaib Shidiq, 9 tahun, keluar dari kamar tidur menuju musala di
samping kanan rumah dinasnya. Di musala berukuran 3 x 6 meter itu telah
menunggu dua staf pribadi Hidayat yang juga akan salat subuh bersama, pukul
04.45 WIB Rabu lalu.

Pukul 05.10, seusai salat subuh, Hidayat dan Hubaib beranjak ke lantai 2
rumahnya. Di bangunan utama rumah dinas Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat
itu terdapat satu kamar tidur utama dan dua kamar tidur anak. Di depan
ketiga kamar itu ada ruang berukuran 3 x 4 meter untuk ruang keluarga.
Selama 15 menit Hidayat dan Hubaib melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran di
situ.

Sejak Kastian Indriawati, 45 tahun, istrinya, meninggal pada 22 Januari
lalu, Hidayat menjadi orang tua tunggal bagi Inayah Dzil Izzati (kelas V
Pesantren Gontor), Ruzaina (kelas III SMP Pesantren Anyer, Banten), Allaâ
'Khoiri (kelas I Pesantren Gontor), dan Hubaib Shidiq (kelas IV sekolah
dasar di Pondok Gede, Bekasi). Di tengah kesibukannya sebagai Ketua MPR,
guru, dan anggota Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera, Hidayat berusaha
menyempatkan diri menyiapkan keperluan sekolah Hubaib, satu-satunya anak
yang tinggal bersamanya.

Pukul 05.55, Hidayat melepas Hubaib ke sekolah, diantar sopir keluarga
mengendarai mobil pribadi Innova warna hitam. Sejak istrinya tiada, Hidayat
ingin selalu melepas, nguntapke, Hubaib berangkat sekolah.

Pukul 06.00, berkaus putih, celana olahraga panjang hitam, dan sepatu putih,
Hidayat menuju lapangan bulu tangkis yang jaraknya sekitar 200 meter dari
rumah dinasnya menggunakan mobil pribadi Toyota Kijang LGX warna biru.
Bersama staf pribadinya dan beberapa staf pribadi menteri di kompleks Widya
Candra, pagi itu Hidayat main empat set langsung dengan dua kali istirahat
masing-masing lima menit.

Hidayat selalu bermain cantik di tiap set. Smash dan permainan net
menunjukkan kepiawaiannya bermain tepok bulu. Walhasil, pria kelahiran
Klaten ini selalu memenangi pertandingan.

Bulu tangkis adalah hobinya selain sepak bola. Minimal tiap Selasa dan Rabu
dia selalu menyempatkan diri memukul shuttle cock. Dia suka badminton sejak
remaja. Di samping rumah orang tuanya di Kadipaten Lor RT 03 RW 08,
Kebondalem Kidul, Prambanan, Klaten, ada lapangan badminton yang biasa
dipakai keluarga dan warga sekitarnya.

Kebiasaan itu diteruskan Hidayat saat 13 tahun belajar di Madinah, Arab
Saudi. Bersama teman-teman pelajar dari Indonesia dia membuat lapangan bulu
tangkis di samping kontrakan.

Pukul 07.50, Hidayat menyudahi badminton. Menenteng tas raket, ia berjalan
kaki menuju rumah dinasnya. Sesampai di rumah, Hidayat meminta izin kepada
Tempo membersihkan diri dan bersiap-siap berangkat ke kantor Dewan Pimpinan
Pusat Partai Keadilan Sejahtera di Mampang Prapatan, Jakarta Selatan.

Dua puluh lima menit kemudian Hidayat ke lantai 2 menuju meja makan yang
letaknya di bawah kamar tidur utama. Ruang makan menyatu dengan ruang
keluarga, bersebelahan dengan ruang tamu dan ruang rapat.

Seperti di ruangan lainnya, di ruangan seukuran lapangan bulu tangkis ini
tidak ada aksesori yang tergolong mewah. Hanya ada televisi 21 inci dan
akuarium berukuran 1 x 0,5 meter yang dihuni seekor ikan arwana. Di dinding
tergantung satu lukisan bunga, foto Hidayat bersama para pemimpin MPR, serta
foto-foto mendiang istrinya.

Menu sarapan kali itu nasi uduk, kering tempe, ayam dan telur goreng,
sambal, dan kerupuk. Buahnya jeruk dan lengkeng, minumannya jus jambu dan
air mineral. Tapi Hidayat hanya mengambil kering tempe, ayam goreng, sambal,
dan kerupuk sebagai teman nasi uduk.

Hidayat agaknya penggemar kerupuk. Sekali makan, lebih dari tiga kali ia
merogoh kaleng krupuk dari plastik itu. Ia mengaku tidak punya pantangan
jenis makanan tertentu. Tapi masakan tradisional Jawa, seperti pecel, botok,
sambal goreng, sayur lodeh, dan tentu saja kerupuk, paling ia gemari.

Untuk bekerja hari itu Hidayat memilih kemeja batik lengan panjang biru
dengan motif kawung putih dan celana hitam. Hidayat jarang mengenakan jas.
Dia lebih sering mengenakan batik, kecuali untuk acara kenegaraan yang
mewajibkan jas.

Hidayat mengaku tak punya merek pakaian favorit. Istrinyalah yang biasanya
menyediakan pakaiannya. Batik yang ia kenakan hari itu, misalnya, bahannya
dibelikan Kastian dan dijahit di Pondok Gede, dekat rumah pribadinya.

Mendiang Kastian pula yang membelikan jam tangan Tissot yang dikenakan
Hidayat, juga telepon seluler Nokia--bukan Communicator. Kastian
membelikannya saat berhaji, beberapa hari sebelum meninggal. "Ini
kenang-kenangan terakhir almarhumah (istri saya)."

Pukul 09.10, Hidayat bersiap ke kantor PKS.

Tanpa istrinya, kini Hidayat menyiapkan sendiri semua keperluannya. Memilih
baju dan celana sampai menyemir sepatu. Sepatu yang dikenakannya hari itu
sepatu Bata hitam yang terletak di samping tangga menuju lantai 2. Sepatu
itu sudah tak mengkilap sehingga Hidayat perlu menyemirnya dulu. Ia tidak
banyak memiliki koleksi sepatu atau sandal.

Setelah bersepatu, Hidayat memeriksa semua lampu ruangan. Lampu yang tidak
dipakai dimatikannya.

Pukul 09.25, Hidayat masuk ke mobil Toyota Kijang LGX warna biru menuju
kantor DPP PKS. Rencananya, pukul 10.00 akan ada deklarasi pencalonan
Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat. Karena untuk kepentingan partai,
Hidayat tak menggunakan Camry, mobil dinas Ketua MPR. Hidayat duduk di kursi
belakang. Di depan ada sopir dan ajudannya.

Meski pejabat negara, Hidayat jarang dikawal dan kerap bepergian tanpa
voorrijder. Ia merasa aman dan nyaman tanpa mereka karena merasa tak punya
musuh, sehingga tidak khawatir keamanannya terancam.

Tapi, tanpa voorrijder, ditambah lalu lintas yang kerap macet, perjalanannya
jadi lebih lama. Dari Widya Candra menuju Mampang Prapatan pagi itu perlu 30
menit. Di perjalanan, Hidayat sempat menunjukkan tukang potong rambut
langganannya. Letaknya di deretan warung Padang dan warung Tegal di pinggir
Jalan Mampang Prapatan Raya. Sebulan sekali dia potong rambut di situ.
"Ongkosnya Rp 9.000 sekali cukur."

Pukul 10.00, Hidayat tiba di kantor PKS. Deklarasi ditunda karena Presiden
PKS Tifatul Sembiring dipastikan datang pukul 10.30. Di situ Hidayat bertemu
dengan Ketua Majelis Syura Hilmi Aminuddin, Ketua Dewan Syariah Surahman,
serta pengurus PKS Jawa Barat.

Hidayat belum pernah belajar politik secara formal. Tapi ia lahir dari
keluarga aktivis. Kakeknya tokoh Muhammadiyah dan Masyumi di Prambanan, Jawa
Tengah. Ibunya aktivis Aisyiyah--organisas i perempuan Muhammadiyah. Dan
ayahnya, meski berlatar belakang Nahdlatul Ulama, menjadi pengurus
Muhammadiyah. Kastian juga penggiat Ikatan Pelajar Muhammadiyah.

Hidayat menimba ilmu berorganisasi di Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI)
cabang Madinah. PPI Madinah adalah salah satu organisasi yang menolak
penerapan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi organisasi di masa Orde
Baru. Beberapa kali petugas kedutaan dan menteri kabinet Soeharto membujuk
agar PPI Madinah mengakui Pancasila sebagai satu-satunya asas organisasi,
tapi tak mempan.

Hidayat kembali ke Indonesia pada 1993 dan mengajar di Institut Agama Islam
Negeri Syarif Hidayatullah, Ciputat, Tangerang. Ketika reformasi bergulir,
bersama-sama aktivis muslim ia mendirikan Partai Keadilan. Kini, setelah
berganti menjadi Partai Keadilan Sejahtera, partai yang semula hanya
menerima anggota dari kalangan Islam itu mulai membuka diri untuk nonmuslim.

Tapi rekrutmen partainya, kata Hidayat, tetap taat pada jenjang pengkaderan.
Untuk menentukan calon di parlemen, PKS akan melihat siapa yang akan
diwakili calon itu. Jika penduduk yang akan diwakili mayoritas selain Islam,
wakilnya bisa saja dari nonmuslim juga. Hidayat hanya 20 menit berada di
kantor PKS. Ia buru-buru menuju gedung MPR/DPR untuk menerima delegasi dari
PPI.

Pukul 11.00, Hidayat tiba di gedung MPR/DPR. Tapi tamu yang ditunggunya dari
PPI batal datang. Hidayat meneruskan pekerjaan dengan memeriksa beberapa
dokumen dan menekennya.

Pukul 13.00, Hidayat menerima delegasi dari Pacific Countries Social and
Economic Solidarity Association Turki. Mereka mencari cara mempererat
hubungan Indonesia dengan Turki.

Pukul 14.00, Hidayat menerima kunjungan rombongan Presiden National
Endowment for Democracy Carl Gersham. Carl meminta Indonesia sebagai salah
satu negara demokrasi menularkan pengalamannya ke negara-negara di Timur
Tengah. Hidayat menolak. Alasannya, "Rusaknya demokrasi di Timur Tengah
karena sikap politik Amerika Serikat yang berstandar ganda."

Ia mencontohkan pemilu di Palestina. Khalayak, kata Hidayat, tahu pemilu
Palestina sangat demokratis. Tapi karena rayuan Israel, negara-negara Barat
termasuk Amerika tidak mengakui hasil pemilu itu. Menurut dia, Timur Tengah
akan demokratis jika Amerika demokratis. "Jadi jangan Indonesia diminta
mengajarkan demokrasi ke Timur Tengah. Mereka (Timur Tengah) melihat
perilaku Amerika sendiri."

Meski banyak menerima tamu, Hidayat selalu tepat waktu untuk salat. Begitu
azan berkumandang, dia bergegas berwudu. Pukul 15.25, Hidayat salat asar. Di
ruangannya tersedia perlengkapan salat, termasuk peci yang bagian atasnya
sedikit robek.

Pukul 15.40, Hidayat bersiap-siap kembali ke rumah dinasnya karena pukul
16.30 ia akan menerima Hanung Bramantyo, sutradara film Ayat-ayat Cinta yang
lagi populer.

Pukul 15.45, Hidayat memasuki Camry, mobil dinasnya. Kali ini memang untuk
kepentingan tugasnya sebagai Ketua MPR. Tapi tetap tanpa voorrijder. Hidayat
jarang dikawal voorrijder kecuali kalau ada acara yang mendesak segera
didatangi, tak boleh telat, dan lalu lintas macet.

Untuk acara yang bisa diatur jadwalnya dan tidak mendadak, dia pergi tanpa
voorrijder. "Semua tergantung bagaimana kita mengatur waktu saja." Mobil
Camry dengan pelat bernomor RI-5 itu pun mengarungi samudra kemacetan
bersama mobil-mobil lainnya di Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan.

Pukul 16.25, Hidayat sampai di rumah dinasnya. Sepuluh menit berselang, tamu
yang ditunggu, Hanung, datang. Hidayat menyambut Hanung di ruang tamu,
mengenakan baju putih bermotif kotak-kotak pendek dan celana hitam. Hanung
meminta pendapat Hidayat tentang film Ayat-ayat Cinta sekaligus saran untuk
film Ahmad Dahlan--pendiri Muhammadiyah- -yang akan dibikinnya.

Meski hanya tiga kali menonton film seumur hidupnya, Hidayat mengkritik
beberapa lafal bahasa Arab dalam adegan Ayat-ayat Cinta yang grammar-nya
tidak benar. Lokasi shooting yang tidak sesuai dengan kondisi Mesir
dikritik. Hidayat juga mempertanyakan mengapa Hanung menonjolkan sisi
poligami dalam film itu, padahal dalam novelnya tidak.

Soal rencana membuat film Ahmad Dahlan, Hidayat menyarankan agar dalam film
itu juga disinggung soal K.H. Hasyim Ashari, pendiri Nahdlatul Ulama.
Menurut Hidayat, keduanya teman yang akrab dan satu guru saat menempuh
pendidikan di Madinah.

Kiai Hasyim dan Ahmad Dahlan, kata Hidayat, satu kapal dalam perjalanan dari
Pulau Jawa ke Arab Saudi. Meski berbeda pandangan tentang beberapa hal soal
khilafiah, mereka berdua saling menghargai. Hidayat menerima Hanung selama
dua jam, hingga pukul 18.35.

Pukul 18.45, Hidayat berangkat ke Warung Buncit untuk memenuhi undangan
peringatan Maulid Nabi di Pesantren Assalafi Daarul Islah, Jalan Buncit
Raya. Kali ini dia mengenakan baju koko putih dan celana hitam. Untuk
keperluan ini dia menggunakan mobil pribadi Toyota Kijang LGX biru, tanpa
pengawal dan voorrijder.

Akibatnya, dia terjebak kemacetan di Jalan Gatot Subroto, Mampang, dan
Buncit Raya. Sejam lebih bertarung dengan kemacetan, Hidayat tiba di lokasi
pukul 20.05. Di acara itu Hidayat sempat berceramah selama 30 menit.

Pukul 21.35, Hidayat kembali ke rumah dinasnya. Perjalanan lancar karena
sudah malam. Dua puluh menit kemudian Hidayat sampai di rumah dinasnya.
Sebelum tidur pada 23.00, Hidayat membaca semua surat yang masuk dan menutup
hari dengan membaca Al-Quran. ERWIN DARIYANTO

Koran

0 comments: