PPC Iklan Blogger Indonesia

Who am I

Ketika Si A berhasil lulus UMPTN setelah belajar keras, menceritakan kepada teman-temannya bahwa itu hasil kerja kerasnya. Ketika Si B sakit menceritakan bahwa itu akibat kebanyakan merokok. Ketika Si C masuk penjara menceritakan bahwa itu karena ia dengan sengaja melakukan kejahatan. Si D menjadi kaya karena ia senantiasa berzakat dan berinfaq, dan seterusnya.

Benarkah demikian perilaku manusia yang senantiasa diliputi oleh sebab akibat?

Marilah kita bahas pelan-pelan dengan menggunakan logika. Benar atau tidaknya suatu materi pelajaran tidak boleh lepas dari dalil aqli, naqli, sam'i, dan fi'il.

Allah menciptakan manusia dalam 2 bentuk, yaitu jasmani dan rohani. Mata sebagai jasmani dan penglihatan sebagai rohani. Telinga sebagai jasmani dan pendengaran sebagai rohani. Dalilnya adalah "tiada yang memperdengarkan kecuali Allah (la musamar ilalah), tiada yg memperlihatkan kecuali Allah (La mubasar ilallah), tiada yg memperjalankan, memperasakan,menyelesaikan....dst kecuali Allah", dan masih banyak yang lain hingga menjadi La ilaha ilalah (tiada tuhan melainkan Allah).

Menyimak hal ini manakah perbuatan-perbuatan di atas baik yg disebut sukses atau gagal yang merupakan perbuatan/kehendak manusia? Tidak ada! Lantas untuk apa Allah menciptakan hal-hal yg disebut baik-buruk, mulia-hina, tinggi-rendah, sehat-sakit, dsb? "Ciptaan Allah tidak ada yang sia-sia", jika ada yg sia-sia maka Allah menjadi tidak Maha Kuasa. Bagaimana penjelasannya?

Sehat tidak akan dikenal tanpa dikenalkan melalui sakit sebagai pembandingnya, tinggi tidak akan dikenal tanpa memunculkan rendah, mulia tidak akan dikenal tanpa memunculkan hina sebagai pembandingnya, dsb.

Allah menciptakan segala sesuatu selalu berpasang-pasangan, yaitu tinggi-rendah, hina-mulia, kaya-miskin, sehat-sakit, pintar-bodoh, dsb adalah agar semua itu dapat dimaknai, artinya tanpa ada si rendah, maka si tinggi tidak akan dikenal, tanpa ada si hina maka tidak akan dikenal si mulia, tanpa dihadirkan si sakit, maka tidak akan dikenal si pintar, dsb. Maka dari itu hadirnya si miskin adalah tidak selamanya, maka akan diganti dengan kaya. hadirnya si sehat adalah tidak selamanya karena akan diganti dengan sakit. Hadirnya si hina adalah tidak selamanya karena akan diganti dengan mulia, dst. Maka bagi orang alim ketika menerima kenyataan dalam menerima kehinaan, kemiskinan, kebodohan, kegagalan, sakit tidak tidak hanya sebagai suatu yg harus diterima secara ikhlas karena pemberian Allah dan tidak pula hanya sebagai suatu cobaan, tetapi kehinaan, kemiskinan, kebodohan, kegagalan, sakit dsb adalah suatu 'kebutuhan'. Mengapa? Karena dengan dihinakan, kita dapat memahami suatu suatu kemuliaan. dengan kebodohan kita dapat memahami suatu kecerdasan. dengan kegagalan, kita mampu memahami suatu kesuksesan. dengan kondisi sakit kita mampu memahami betapa nikmatnya suatu kesehatan. Pada akhirnya kita mampu mengesampingkan rasa putus asa, stress, dsb, yang ada hanyalah la ilahaliallah.


from : wanih_1983@yahoo.com

0 comments: